Wednesday, October 05, 2005

Agama & Konflik

Jakarta suatu malam, udara menyesakkan pori-pori, namun mata saya belum mau lelah mengikuti alur kronologispertikaian antara Ahmadiyah di satu sisi dan sebuah Majelis di sisi lainnya. Mirip adegan tinju di, dua-dua petinju sedang ada di pojok ring, konsolidasi untuk babak konflik selanjutnya. Konflik berkelidan, belum mencapai titik temu, belum mencapai sepakat untuk tidak sepakat. Yang satunya memegang kuasa-yang juga abstrak-dan yang satunya makin merasa keras bahwa keyakinannya layak untuk hidup dan berkembang.
tema konflik dengan mengusung panji-panji agama, kepercayaan, keyakinan dan segala sesuatu yang subtil masih terus berulang di melinium ini, dengan beragam variansi dan anasirnya terus bergerak dengan ragam ekspresinya, membentuk valensi yang terus berubah-ubah sebagai sebuah kekuatan. suatu kali ia bersifat X ketika pemeluknya ditindas, kali lain akan berubah menjadi Y ketika pemeluknya menindas.

Bayangkan saja tuan penganut muslim di palestina dan hidup serta berbagi nafas dengan pemeluk yahudi di jalur gaza, atau cobalah anda menjadi penganut kristen anglikan di tengah-tengah belfast, irlandia utara yang mayoritas katolik. mayoritas melambangkan kuasa, sedang minoritas atas nama jumlah, atas nama keinginan untuk sekedar eksis, dihargai, mendapat senyum dan sapa tiap sore hari. Di pojok-pojok dunia yang makin renta ini, kita bisa menyaksikan tema konflik.

Bayangkan anda jadi muslim di sebuah kota kecil di Bosnia Timur, bersentuhan langsung dengan serbia dan kroasia. di pinggiran sungai Drina yang mengalir deras. Bayangkan anda di musim semi di tahun 1992, pohon-pohon menghijau, tapi anda ketakutan. Milisi-milisi Serbia menguasai kota, penduduk muslim seperti anda dilarang keluar, lalu penangkapan dimulai, dalam hitungan hari, anda digiring ke sebuah kamp, berbaris satu-satu, lalu anda lihat mesjid tempat anda shalat jum'at berjamaah beberapa pekan sebelumnya, di atas permadani hijau dengan motif kembang jingga dan merah bergantian. namun ketika anda berbaris, mendadak ledakan besar menyebabkan mesjid itu rata dengan tanah, beberapa orang milisi telah meletakkan dinamit dan dalam satu kali ledakan, mesjid itu hilang dari tatapan anda, luluh lantak.

Sejarah mencatat, di kota-kota seperti Foca, Srebenika, di pelosok Bosnia sepanjang tahun 1992 hingga 1993, kekejaman berlanjut, perempuan-perempuan diperkosa secara nista, laki-laki dibantai, harta benda digusur, orang-orang muslim masuk ke kamp konsentrasi, persis seperti Nazi menggiring orang Yahudi di wilayah yang sama di perang dunia. Atau persis seperti Nazi menggiring partisan anak buah Broz Tito yang tertangkap di perang dunia ke II.

Di 2005 ini, Jakarta yang panas mencatat, penganut Ahmadiyah menyakini Ghulam Ahmad menerima wahyu, dan status kenabian Ghulam masih berlangsung. Pemeluk Islam lainnya juga wajar menganggap bahwa keyakinan Ahmadiyah itu dipandang merusak akidah dan menyimpang dari Islam.Beda paham antar-pemeluk beda agam, sesama pemeluk Islam, bahkan di antara sebuah organisasi Islam semakin tajam di tengah arus deras globalisasi. Penyelesaian sengketa keagamaan lebih mirip pertandingan tinju tanpa wasit, tanpa akhir. Cenderung diselesaikan dengan aksi pengerahan massa disertai kekerasan. Seolah Islam hanya bisa hadir dengan teror dan kekerasan.

Keyakinan Islam sebagai ajaran yang sempurna dan tunggal sering menempatkan sebagian umatnya sebagai Tangan Tuhan yang hendak menghakimi siapa saja yang berbeda, jika perlu dengan kekerasan, amuk. Pemeluk islam - agama yang santun dan damai - tampaknya mesti berdamai dengan pemeluk Islam lainnya.

Toleransi keagamaan bagi kemuliaan kemanusiaan, bukan untuk mengubah keyakinan, semakin penting untuk dikembangkan. Tuhan sendiri berfirman, jika Dia berkehendak, maka seluruh manusia akan memeluk satu agam dengan paham yang seragam. Tapi Dia biarkan semua berlangsung alami untuk menguji siapa yang terbaik.

Namun apa artinya? bukankah mabuk kemenangan hanya akan bisa dinikmati dalam beberapa bulan saja? teror dibalas dengan teror, dan atas nama agama. Apa yang menjadi fanatik bagi sebagian orang bersenjata akhirnya mengarah pada kesia-siaan. Yang tersisa; kehancuran peninggalan sejarah, kampung halaman porak poranda, relasi kekerabatan sekejap hilang.

Tema itulah yang tampaknya selalu berulang dalam lintasan sejarah peradaban manusia, dengan segala variasinya. Pelbagai anasir agama, apa pun ekspresinya membentuk valensi yang berubah-ubah sebagai sebuah kekuatan. Ia bersifat "X" ketika pemeluknya ditindas, dan ia bersifat "Y" ketika pemeluknya menindas.

Seorang penyair Inggris, bertanya kepada seekor harimau, "Did he who made the lamb make thee?"-adakah ia yang menciptakan domba juga menciptakanmu? Di sini, Tuhan selamanya ditafsirkan. Kita tak pernah berhubungan langsung dengan Dia. Dalam sajak Blake yang penuh pertanyaan itu, Tuhan dapat dibayangkan sebagai kemahakuasaan membuat domba yang lemah tapi selamat, tapi juga membuat sang macan penguasa hutan juga tampil gagah.

Agama, di tangan yang berkuasa dan pemeluk yang kuat, dengan gampang membuka godaan untuk memilih Tuhan yang mencipta si raja hutan; Tuhan yang menghadirkan kekuasaan, kecurigaan dan kekerasan sebagai anasir kelebihan Makhluk-Nya.

Namun, penulis menilai, di balik godaan untuk tampil berkuasa, kuat, dengan kekerasan bila perlu, bahwa di situ ada keyakinan yang cemas. Tuhan dibayangkan sebagai kuasa yang penuh amarah dan cemburu, mereka merasakan ada lubang yang masih menganga dalam hidup. Seorang "Pembela Tuhan" merasa mendapat mandat dan kehendak dari Dia tentu menginginkan muka bumi yang bersih dari apa saja yang najis, mencong, ataupun kotor. Mereka siap, apabila ada yang mengganggu sabda-Nya, untuk membuat manusia yang najis, mencong tadi disingkirkan, mesjid didinamit, gereja dibakar dan kuil diruntuhkan. Di setiap lintasan sejarah agama, hal itu terjadi. Tapi akhirnya selalu terbukti, gerak kehidupan selalu lebih rumit, lebih sulit ketimbang jalan yang lurus, hidup manusia ibarat lubuk yang kedap cahaya - bahkan jika cahaya itu datang dari iman yang kuat.

Semakin jauh yang mencong itu, semakin besar lubang kekurangan yang menganga itu, semakin besar nafsu untuk meluruskan jalan manusia, dan kita pun mendadak lupa bahwa ajaran agama manapun tak pernah menyimpan asumsi yang suci sama dengan yang lempang dan terang. "Cahaya" yang muncul di kitab suci melalui penafsiran sering muncul sebagai "cahaya" yang menyentuh, mempesona, menyebabkan kita tergetar, bukan cahaya yang seperti neon dengan sinar yang mereduksi bayang-bayang.

Sebuah sajak Amir Hamzah tepat menggambarkan Cahaya Tuhan sebagai "kerlip lilin di kelam sunyi", sinar yang sabar, setia, selalu, dan tak mantap. Cahaya yang suci juga misterius sebagai sesuatu yang tak dapat diuraikan, dibuktikan atau diargumentasikan. Yang suci bukanlah tempat memperoleh klasifikasi tentang hal-ihwal yang

hidup. Agama apa pun mengandung pengakuan yang mendasar kepada enigma nasib, kelahiran, dan kematian - dan sebab itulah agama bisa menumbuhkan kerendahan hati.

Pemeluk ahmadiyah sendiri perlu bercermin dan lebih terbuka mengkomunikasikan pandangan atas wahyu dan kenabian, termasuk makna Al-Mahdi. Para pihak yang memandang Ahmadiyah sesat dan mencong perlu melakukan tabbayyun (klarifikasi) melalui dialog guna menemukan titik kesepahaman. Kesediaan melakukan dialog secara terbuka itu akhirnya semakin penting, tak terhindarkan untuk menemukan yang terbaik bagi kemanusiaan, sehingga Islam benar-benar memberi rahmat bagi seluruh umat manusia.

Bayangkanlah lagi, kita sebagai umat yang terpojok, di pihak yang terancam dan tak bisa lagi berharap. Kitka akan terdesak dan bertanya, apa gerangan Kehendak-Nya, dan kita tahu bahwa kita tak tahu. Satu hal yang pasti: dalam keadaan yang celaka itu, kita tak mungkin mengatakan "akulah kehendak itu". Kita tak hendak menjadikan diri kita pengganti-Nya. Di titik ini, satu hal menunjukkan: tak adanya ketakaburan itu menyebabkan agama bisa dipeluk dengan kuat karena rela.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home