Tuesday, October 25, 2005

[cerpen] Bangku Taman Di Tepi Pantai

"Kek, kenapa ayah pernah berkata 'Payah, anakku tidak seperti aku', Bagaimana sih, hidup ayah dulu, Kek ?".

Orang tua itu menginjak perlahan remnya, keningnya berkerut mendengar pertanyaan cucu perempuannya. Mobil Colt Pick-Up buatan tahun '75 itu pelan-pelan terhenti.

"Baiklah, kita berhenti di taman itu !", ujarnya sambil menunjuk ke sebuah taman kecil. Taman itu terletak di persis di tepi pantai. Hanya sekitar dua puluh meter dari jalan utama.

Mereka kemudian duduk di sebuah bangku di taman itu, mereka duduk menghadap pantai. Hembusan angin laut memainkan rambut mereka berdua. Orang tua itu mulai berpikir untuk menjawab pertanyaan yang barusan ditanyakan si anak.

Kadang ia bingung, mengapa warna hidupnya sudah berbeda jauh dengan anaknya. Apa yang dilakukan oleh anaknya sehingga anak sekecil ini sudah bisa menanyakan hal-hal yang semestinya ditanyakan oleh orang dewasa.

"Apakah dulu ayah pernah bertanya hal yang demikian kepada kakek ?", gadis kecil itu bertanya lagi, ia khawatir jangan-jangan kakeknya mulai gampang luka, mulai pikun.

Mendengar pertanyaan cucunya, orang tua itu mengusap rambutnya yang memutih.

"Tidak, tidak pernah", ia menjawab sambil tersenyum. Ia lalu menatap mata sang cucu. Sang cucu menatapnya tanpa berkedip. Mata keduanya saling bertatapan, mereka berdua saling memasuki pengalaman hidup masa lalu dan masa depan

Ia lalu menceritakan seluruh masa lalunya, seluruh kehidupannya. Ia teringat pada masa-masa sulit, saat ia berjuang sendirian dalam hari-hari penuh badai. Ia ingat masa-masa ketika ia berada di titik terendah dalam kehidupannya. Ia ceritakan betapa sulitnya menjadi petani kala itu. Ia juga ceritakan tentang istrinya yang mulai tidak kerasan dengan sulitnya hidup kala itu. Cerita-cerita yang pernah menorehkan luka panjang dan luka-luka lain di atasnya.

Harapan menjadi satu-satunya sebab yang membuat ia terus bertahan.

Dulu semasa kecilnya, ia juga mempunyai banyak pengetahuan dari kakeknya. Ia jadi mengenal lumpur-lumpur sawah, ia mengenal kerbau, ia mengenal bunga rumput, ia mengenal suara sungai, ia mengenal laut ini, ia mengenal bangku-bangku taman di tepi pantai. Itu semua dari kakeknya. Lalu ia pandangi kedua belah telapak tangannya, ia teringat tangan kakeknya yang keriput, sama seperti punyanya sekarang ini. Telapak tangannya pernah seperti punya cucunya saat ini.

"Apakah itu semua menganggumu ?", Sang kakek memindahkan cucunya ke dalam pangkuan.

Gadis kecil itu hanya menggeleng.

"Cuma...?".

Gadis kecil itu tak menjawab, ia hanya memainkan jemarinya di dada kurus itu. Ia teringat dengan pertengkaran-pertengkaran beberapa hari belakangan di rumah. Kata-kata kasar yang baru ia dengar waktu itu berebutan keluar dari mulut kedua orang tuanya. Ia tidak tahu mengapa. Kadang ia lihat ayahnya menatapnya dengan penuh cinta, tapi suatu saat ia lihat sinar itu berubah menjadi kebengisan kepada mamanya. Kadang ia temui mamanya dalam kondisi lusuh dan memilukan, wajahnya sering sembab. Kadang ia merasa malas pergi ke sekolah, ia ingin menemani mamanya.

Laut mendesah. Burung-burung laut beterbangan, mengepakkan sayap. Laut mendesah selalu seperti itu, burung-burung mengepakkan sayap selalu seperti itu, tapi manusia selalu berubah.

"Aku selalu ingin bisa terbang, kek, punya sayap. Bisa main ke rumah kakek, ke pantai terus", tangannya yang kecil memeragakan bagaimana burung terbang. Ia tampak gembira.

Kakeknya hanya tersenyum.

"Lalu setelah terbang, kamu mau apa ?"

"Pergi, Kek. Jalan-jalan seperti burung-burung itu. Tak usah memikirkan sekolah, hanya terbang saja sepanjang hari".

"Lalu bagaimana dengan sekolahmu nanti ?".

Gadis kecil itu tertegun sesaat.

"Apakah dahulu kakek juga pernah sekolah seperti aku ?".

Ia masih berdiri-diri seperti burung terbang, di samping kakeknya.

"Aku tidak pernah sekolah, nak. Aku dulu belajar mengaji. Apakah Mama di rumah mengajarkan kamu mengaji, nak ?"

"Mengaji ?".

"Ya, mengaji. Kamu tahu, kan ? Sebetulnya itu sekolah juga. Ayat-ayat kitab suci mengajarkan bagaimana hidup yang benar."

"Kenapa Papa dan Mama tidak pernah mengajarkan aku mengaji sekarang ?"

"Kamu tanyakan saja sendiri pada Papa dan Mamamu. Mungkin karena waktumu habis untuk sekolah. Kamu selalu pergi sampai sore, nak."

Gadis kecil itu terduduk lagi di pangkuan kakeknya.

"Kalau memang kita suci mengajarkan bagaimana hidup yang benar, seharusnya papa dan mama menyuruh aku belajar mengaji. Apakah Kakek pernah menyuruh papa belajar mengaji dulu ?"

"Ya, tapi banyak orang yang berpikir bahwa mengaji itu adalah hal yang aneh di jaman sekarang ini. Kalau kamu tidak bisa membaca hurufnya pun, kamu bisa mengerti tentang ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Mungkin bapakmu juga berpikir begitu, Ia berpikir kamu lebih baik belajar bahasa Inggris."

"Apakah hidup akan menjadi tidak benar kalau kita tidak pernah belajar mengaji."

Gadis itu bertanya lirih, ia kembali teringat tangisan-tangisanny di balik bantal. Sering ia tidak bisa menahan air matanya ketika mendengar kalimat-kalimat keras dan kasar keluar dari kedua orang tuanya. Ia hingga kini tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan mereka, papa atau mamanya hanya menjawab tidak ada apa-apa, lalu menyuruhnya kembali ke tempat tidur. Kenapa orang bisa sedemikian cepat berubah ? Apakah mereka berbohong ? Ia sama sekali tidak mengerti.

Mendengar pertanyaan cucunya, orang tua itu terperangah. Keningnya berkerut. Ia menatap mata cucunya. Itulah pertanyaan yang pernah ia ajukan pada kakeknya dulu. Tapi ia tidak ingin menjawab pertanyaan yang pernah ia ajukan pada kakeknya. Ia sendiri sudah lama menjawab-menjawab pertanyaan. Sekarang ia merasa harus berusaha keras menjawab pertanyaan cucunya itu, karena ia pikir cucunya akan teringat sampai mati. Seringkali ia merasa sudah menemukan jawaban, tapi ia takut itu merupakan jawaban yang tidak sesuai untuk cucunya. Selama ini aia memang sudah menemukan keyakinan, namun ia juga ingin cucunya menemukan keyakinannya sendiri.

"Tanyakan saja kepada papa dan mamamu, Nak, tentunya ia punya jawaban yang bagus."

"Aku takut mereka tidak punya kesempatan untuk menjawabnya."

"Kalau begitu dengan gurumu di sekolah, mungkin jawaban yang ia punyai akan sangat bagus."

"Guruku tidak pernah menjawab, Kek. Ia hanya mengajarkan aku bagaimana menemukan jawaban."

"Wah, kalau begitu sekolahmu itu pasti sekolah yang bagus. Kamu beruntung sekali, Nak, kamu sangat beruntung....."

Gadis kecil itu masih memandang kakeknya. Mereka saling bertatapan dan saling merasuki lorong kehidupan yang panjang ke masa lalu dan ke masa depan. Gadis kecil itu teringat pada belaian bundanya, kecup manis ayahnya ketika ia akan masuk ke kelas. Gadis itu teringat, ketika mereka sering pergi ke taman seperti sekarang ini dengan kakeknya. Ia juga teringat betapa papa mamanya begitu mencintainya, sehingga semua yang ia inginkan selalu tersedia untuknya. Ingatan-ingatan itu bercampur baur dengan ingatan lain, saat ia lihat betapa ramainya rumah ketika suatu saat papa dan mamanya telibat pada sebuah adu pembicaraan. Begitu ia menamakannya, yang akhirnya kadang membuat ia menangis, membuat ia merasa tak berdaya.

Orang tua itu menatap cucunya juga tanpa berkedip, ia melihat masa kecilnya dulu ketika ia sering pergi dengan kakeknya ke sawah, ke kebun, ke pantai seperti sekarang ini. Semuanya tetap, hanya manusia, dirinya yang berubah. Sawah, kebun dan pantai ini masih tetap seperti dulu.

Ia kadang tidak mengerti mengapa orang muda sekarang mudah untuk tidak mau mengalah ? Apakah sudah tidak ada cinta lagi diantara mereka, di antara anak-anak?. Menyebut kata yang satu ini, ia hanya tersenyum geli dalam hati, betapa sudah lama sekali ia tidak menyebutkan kata ini ke telinga istrinya. Kehidupan sungguh aneh, ia teringat pada masa-masa anaknya bersekolah, ia ingin sekali anak-anaknya bersekolah setinggi-tingginya. Menjadi orang, demikian ia selalu ingat kata guru ngajinya puluhan tahun lampau. Ia juga teringat ketika ia diberitahukan bahwa anak lelakinya ingin menikah, ia agak merasa aneh melihat betapa repotnya mereka-anak lakinya dan gadis pilihannya- mengurus pakaian apa yang harus dipakai olehnya di hari pernikahan mereka. Pernikahan yang ia sendiri merasa tidak pantas untuk hadir di situ. Ia dulu sempat bertanya kenapa harus di kota ? Kenapa harus di gedung mewah ? Kenapa tidak di rumahnya saja di desa, dimana orang-orang sekampung bisa melihat bahwa anaknya sudah jadi orang ?. Sunggu ia merasa asing bila harus di kota, bertemu dengan orang-orang yang tidak ia kenal, orang-orang yang lebih banyak berbasa-basi. Ia sungguh merasa rikuh ketika ia membaca undangan pernikahan yang berisi bahwa setiap undangan dimohon tidak membawa karangan bunga atau bingkisan lain, tapi hanya berupa uang. Uang ? Lalu bagaimana bila ada undangan yang tidak punya uang saat itu ?

Pertanyaan-pertanyaan, kadang ia merasa bahwa hidup hanya berputar-putar pada pertanyaan saja.

Keterasingannya memuncak manakala ia diharuskan bersalaman dengan pembesar-pembesar negeri ini, pembesar-pembesar yang ia hanya bisa lihat di TV. Ia teringat cerita-cerita, bahwa pembesar-pembesar itu adalah orang-orang terbaik, orang-orang pilihan, hingga tak sembarangan orang bisa bersalaman dengan mereka. Ia melihat anak lelakinya bangga dengan itu semua. Ia pun senang, ia lebih baik mengabaikan keterasingannya ia pun melihat anaknya sudah menjadi orang, seperti kata guru ngajinya dulu. Waktu itu ia berpikir bahwa ia lebih baik mengalah, toh, anaknya sudah dewasa, sudah menjadi orang.

Peristiwa itu, baru hitungan jari terlewat. Ia masih ingat dan kebahagiannya bertambah ketika cucunya lahir. Hingga saat ini, ia masih teringat semua itu, ingatan yang kemudian harus berhadapan dengan apa yang barusan diceritakan cucunya.

Kenapa cinta begitu mudah hilang ? Kenapa mereka yang katanya sudah menjadi orang begitu mudah melukai hati seorang bocah dan berkata tidak ada apa-apa ? Apakah aku harus menegur keras mereka ?

Tak terasa air matanya mengalir, kerut keningnya bertambah keras. Orang tua itu merasa kesal ia tak bisa menemukan jawaban dan berbuat apa pun untuk mengobati luka cucunya.

"Kakek menangis ?"

"Oh, tidak," ia mengerjap-ngerjapkan mata, berupaya membuang air matanya,"Angin laut sering membuat pedas mata kakek."

"Hari telah sore, kek, sebaiknya kita pulang. Tapi sebelum itu, ijinkan aku membagikan remah-remah roti ini ke burung-burung itu. Aku kasihan pada mereka, sedari tadi mereka menemani kita disini."

"Ya, ya, pergilah sana. Kakek baik-baik saja di sini."

Gadis kecil itu lalu tersenyum, ia kecup kening kakeknya. Ia tertawa riang ketika ia lemparkan remah-remah roti itu ke burung-burung laut. Sesekali burung-burung mematuki ramah roti di telapak tangannya dan gadis kecil itu merasa geli dan karena itu ia tertawa terkekeh-kekeh.

Kakek itu memandang cucunya berlari-lari melintasi kerumunan burung-burung sehingga burung-burung itu beterbangan sebentar sebelum merendah kembali mematuki remah-remah roti di antara kerikil pantai.

Angin laut berhembus pelan, hari ini, betapa ia mendapat begitu banyak hal yang tak pernah ia duga. Kadang ia merasa sudah teramat tua untuk bisa berpikir seperti dulu. Matahari sudah mulai senja, ia teringat umurnya, saat ini ia merasa seperti matahari itu, hanya bedanya matahari selalu memiliki hidup baru sedang ia tidak. Orang tua itu menatap laut, hatinya yang kesal barusan perlahan hanyut, mengikuti irama gelombang yang selalu datang dan kembali, selalu naik dan turun, kadang tenang kadang beriak. Melihat laut, hatinya merasa luas kembali. Ia pun tersenyum. Kenapa aku tidak bisa seperti laut ? batinnya. Lamunannya melayang seperti kapas melayang di atas gelombang air laut.

"Kek, rotinya sudah habis," gadis itu berteriak sambil berlari menghampiri kakeknya.

"Kita pulang, yuk. Kek. Sudah lapar, nih !"

Orang tua itu tersenyum sambil mengangguk.

Burung-burung melayang pergi, mereka berdua memandang burung-burung itu beterbangan di langit. Makin lama makin menjauh dan menghilang seperti masa berlalu. Tak terdengar lagi kepak sayap burung. Tinggal suara gelombang laut mendesah, angin yang menggelitik dan bergetarnya udara pantai ditembus matahari emas senja hari.

Bandung sore, basah....

Ramadhan '98

Monday, October 10, 2005

kunti, karna

Pengantar :
Sahabat, essai ini muncul setelah penulis mencatat beberapa bagian dalam sebuah babak dunia wayang. Dunia yang di Indonesia ini hanya milik orang Jawa. Namun penulis tak sepenuhnya setuju, kisah Karna dan Ibundanya Kunti bisa terjadi di mana saja, kapan saja.di dalam dunia kehidupan ini. Dan moralitas cerita yang ditunjukkan oleh dunia pewayangan pun berlaku universal, dengan setting yang lain. Lakon Karna Gugur pernah penulis saksikan di sebuah acara wayang kulit di Bandung, tahun 1996 dulu, ketika kehidupan masih murah. Dua babak adegan ini merupakan dua adegan terbaik yang muncul di salah satu episode Mahabharata ini.
Sahabat, semoga berkenan.


kunti

Beberapa hari menjelang perang pecah, Ibu itu, Kunti meminta agar Karna datang menemuinya.
Dan ksatria itu datang. Mereka bertemu di sebuah kuil kecil di tepi gurun, setengah hari berkereta di luar
kota Astina. Hari turun menjadi gelap. Karna turun dari kudanya dan menyuruh pengawalnya menjauh. Di ruang dalam pura, yang diterangi tiga suluh di dinding, ia lihat perempuan itu berdiri, menunggu. Tak ada orang lain yang tampak. Hanya seorang dayang bersila di sudut.

Untuk apa pertemuan ini? Apa kiranya yang dikehendaki Kunti? Wanita itu masih ramping dan tegak. Janda Baginda Pandu. Ratu sepuh. Mungkin usianya telah lewat 60 tahun. Parasnya yang kuning langsat, matanya penuh sorot. Penderitaan seakan-akan telah mengukuhkannya. Berapa tahunkah ia hidup dalam hutan, mengikuti kelima anaknya, para Pangeran Pandawa, selama dalam pengasingan? Sepuluh tahun lebih. Karna hanya ingat, lebih dari 10 tahun yang lau ia tergetar ketia ia berdiri di halaman Keputren dan menengok ke jalan, melihat ratu itu - mengenakan kain kasar dan iku rambut pertapa - dengan kepala tegak duduk di samping Arjuna dan keempat saudaranya, di gerobak sapi yang akan membawa mereka ke luar batas kota, ke hutan, ke pembuangan.

Kini kenapa perempuan itu ingin menemuinya - ia, Karna, seorang musuh, di pihak para Kurawa
yang harus disingkirkan dalam perang pembalasan?

Kita hanya tahu dari para dalang bahwa di keremangan senja itu ternyata mengungkapkan sebuah rahasia besar : Karna adalah anaknya. Empat puluh dua tahun yang lalu, kata wanita itu, ia melahirkan seorang bayi. Bayi yang harus dibuangnya ke sungai, karena lahir dari sebuah percintaan gelap...

Tak bisa dibayangkan, bagaimana sebenarnya pembicaraan berlangsung dalam kuil itu.
Bagaimana Karna menerima rahasia yang dibuka mendadak itu? Terkejut? Syak? Terharu?

Konon ia tak syak. Baginya Kunti memang ibunya. Kata orang, selama ini ia memang selalu ingin menemukan ibu yang melahirkannya. Ia anak dapat, anak pungut, orok yang dijumpai di sungai dan dipelihara oleh satu keluarga sais. Juga Karna cepat mempercayai cerita Kunti, tutur sebagian orang lain, karena ia diam-diam selalu ingin agar ia (kini seorang Adipati di Awangga) punya darah biru, bukan darah sudra...

Tapi benarkah Karna demikian? Tak bertanyakah karna kenapa baru saat itu Kunti membuka rahasia itu? Tak sakit hatikah ia terhadap Kunti yang tega membuangnya ke arus sungai -jika ia memang bayi itu? Tak mungkinkah pertemuan di kuli itu hanya siasat para Pandawa, agar ia - seorang prajurit yang ulung - tak berpihak lagi pada Kurawa.

Para dalang tak menjawab. Mereka hanya bercerita bahwa Karna menolak permintaan Kunti agar ia meninggalkan Kurawa. Ia akan tetap berperang menghadapi kelima Pangeran Pandawa. Konon inilah yang diucapkannya kepada Ratu Sepuh itu : " Kalau hamba tewas dalam perang nanti, ataupun bila Arjuna gugur oleh tangan hamba, Ibu tetap akan punya lima orang putra."

Dan Kunti menangis. Jika itulah yang diucapkan Karna, kstaria itu telah mengatakan sesuatu yang lebih jauh. Karna menyebut jumlah, ia menyebut anak yang bisa saling dipergantikan. Tapi seorang ibu akan tahu - kecuali seorang ibu yang tega membuang anaknya ke sungai - bahwa tak ada sejabang bayi pun yang bisa tergantikan.

Setiap orok mengisyaratkan sesuatu yang berbeda - dan beda itu tak terjangkau.

Setiap kelahiran, seperti setiap kematian, membenarkan kalimat yang mengatakan bahwa setiap kita akhinya datang dan pergi sendiri-sendiri di depan Tuhan. Manusia bukan hanya satu angka dalam himpunan.

Ia punya nasib, dan "nasib adalah kesunyian masing-masing", seperti kata satu sajak Chairil Anwar.

Ketika kesunyian masing-masing tak diakui, pembunuhan dimulai. Politik dan hukum bukan sebuah dunia etis - juga filsafat dan agama kehilangan tindakan etis - ketika kesunyian yang berbeda-beda itu diabaikan. Tatkala politik, hukum, filsafat, ilmu dan agama menghabisi yang lain yang berbeda, dunia pun dikuasai oleh yang sama.

Klimaks Mahabharata terjadi dalam perang yang bengis. Manusia diperlakukan hanya punya dua gugus nasib membunuh atau dibunuh, tewas atau menang. Sering Mahabharata hanya diperlakukan sebagai sebuah dongeng kepahlawanan. Tapi kisah kepahlawanan membuat kemenangan dan tewas bukan hal yang berlainan. Sekaligus diabaikanlah beragam korban dalam sejarah. Mereka tak dicatat, tak dapat tempat.

Dan apa akhirnya? Keadilan, setelah kesewenang-wenangan terbalas ? sebuah tahap baru, yang terangkat dari benturan tesis dan antitesis? Jika Mahabharata hanya ditafsirkan demikian, lika-liku jalan hidup manusia akan terpola dan selalu bisa diulang. Nasib pun bukan "kesunyian masing-masing". Semua hal pun bisa diketahui, lempeng seperti garis.

Tapi tak semua hal bisa diketahui, tak semua hal bisa dikuasai. Di senja itu, Kunti juga mencoba menarik satu garis lurus sebab-akibat : barang siapa yang jadi anaknya akan berperang di pihaknya. Tapi ia akhirnya harus mengakui bahwa ia, yang membuang anaknya 42 tahun lalu, tak akan mendapatkannya kembali. Karna telah dibuang, telah sepenuhnya menjadi orang lain. Dalam hal itu Karna melambangkan nasib dan kesunyian tiap manusia :

Sesungguhnya ia bukan Pandawa, ia bukan Kurawa, Ia terus menerus sebuah beda.


***

karna

Padang Kurusetra tempat epos Mahabaratha mengambil tempat - beberapa jam sebelum pagi, sebelum gelombang pertempuran meledak lagi - Karna, Adipati Awangga, menulis sepucuk surat pada istrinya dari dalam kemahnya, suratnya yang terakhir untuk Surtikanti, istrinya.

"Diajeng Surtikanti yang selalu tercinta dan akan selalu tercinta, Peramal menujum aku akan tewas dalam perang ini. Tapi jangan dengarkan mereka, Surtikanti. Dengarkanlah aku. Nasib mungkin memihak musuh. Tapi aku akan menghadapi mereka - juga bila harus melalui mati."

"Mati, saat ini, rasanya bukan lagi soalku, Istriku. Mungkin karena alasan perangku lebih besar ketimbang hidup. Atau setidaknya alasan itu adalah alasan kehidupan sendiri : aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku. Di pagi nanti, Karna tewas atau Karna menang, Keduanya akan menentukan siapa dia. Sebab, siapa sebenarnya aku, Surtikanti, selama ini, selain orang yang tak jelas kastanya, tak jelas asal-usul, tak jelas kaumnya?"

"Jangan kau sedih. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia kita yang telah dinubuat ini, Istriku, seseorang hanya mendapakan dirinya tak jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan. Sebab itu, Istriku, aku harus membuktikan bahwa seseorang ada, seseorang menjadi, karena tindakannya, karena pilihannya - bukan karena ia telah selesai dirumuskan.

"Seorang resi pernah berkata : pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda menjadi Kodrat. Bagiku, pada mulanya adalah perbuatan. Dari perbuatan lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku. Bagiku, Surtikanti, Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada ; dewa-dewa tak pernah menyabdakannya. Telah kuduga itu ketika namaku masih si Radheya, dulu.”

"Kini, bisa kuceritakan kepadamu apa yang terjadi pada Si Radheya, ketika ia berumur 16 tahun : hari ia tahu bahwa ibunya bukanlah ibunya yang sebenarnya, dan bapaknya - seorang sais - bukanlah bapaknya yang sebenarnya. Ia anak pungut, Surtikanti. Diduga, seorang putri bangsawan tinggi melahirkan bayi yang tak dikehendaki dan membuangnya di air. Dan itulah aku. Aku menangis ketika semua itu dikemukakan padaku oleh wanita yang selama ini kusebut ibuku. Ternyata, aku bukan lagi bagian seasal dari dirinya, betapapun ikhlasnya kasih sayang. Dan mulai saat itu, aku kembali terbuang : seorang bocah yang hanyut, di sepanjang tepian.

"Lalu kucari ilmu, Istriku, kau tahu mengapa? Ilmu akan mengukuhkan aku bukan cuma anak suta yang hina. Meskipun kukatakan pada Radha, Ibuku, bahwa ilmu tak mengenal kasta, ilmu tak mengenal hina, tak memandang harta - dan karena itu di sanalah aku akan bebas - sesungguhnya aku berjusta, juga pada diriku sendiri : diam-diam aku ingin ingkar kepada kelas orang-orang yang mengasihi aku. Sebab, ternyata di dunia kita yang menyesakkan ini, Surtikanti, ilmu pun telah menjadi lambang tentang mana yang rendah, mana yang tinggi.

"Aku datang berguru pada Durna, tapi Durna menolakkku, karena aku bukan ningrat, bukan ksatria. Aku datang kepada Bhargawa, mengaku anak brahmana, dan jadi muridnnya - tapi kemudian ia mengutukku ketika ia menuduhku anak ksatria, kelas yang dibencinya itu, berbohong.

"Memang, setelah kukuasai semua astra dan semua senjata, aku tahu ilmu bisa melepaskan kita dari perbedaan susunan rendah dan tinggi. Tapi akhinya hanya tindakan besar yang membebaskanu - tindakan Pangeran Duryudana. Dialah yang mengangkatku jadi penguasa di Angga, Istriku, dan dari sanalah aku seakan lahir kembali, kini benar aku bukan anak kasta yang dihinakan. Dan Aku meminangmu."

"Ya, aku tahu mengapa Duryudanan mengangkatku, ketika pada Pandawa menghinaku, di pertandingan memanah di area Hastina belasan tahun yang lalu itu ; mereka menolakku , karena bagi mereka, anak sais tak berhak bertanding dengan anak raja. Duryudana ingin memperlihatkan, di depan rakyat yang menonton, betapa tak adilnya pada Pandawa.

Dari Putra Mahkota Kurawa itu mungkin juga memperhitungkan aku bisa digunakannya untuk menghadapi musuhnya yang 5 itu.

"Tapi apa pun niat hatinya, tindakannya adil dan kata-katanya benar : Keberanian bisa datang dari siapa saja, karena seorang ksatria ada bukan hanya karena ayah-bundanya - api toh bisa keluar dari batu gunung yang tak dikenal".

"Rasanya, akulah salah satu batu gunung itu, Surtikanti, yang menerbitkan perciknya sendiri. Inilah kemerdekaanku : Arjuna memilih pihaknya karena darah yang mengalir di tubunhnya, aku memilih pihakku karena kehendakku sendiri, Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku berperang bukan untuk memperoleh.

Maka jika aku esok mati, Istriku, kenanglah kebahagian itu. Satu-satunya kesedihanku ialah aku tak akan lagi bisa memandangmu, ketika kau memandangku."

Di situ Karna berhenti : tangannya tergetar. Tapi segera ia mengucap busur panah di sisi duduknya, ketika ia keluar kemah tercium bau busuk mayat-mayat Kurusetra dan malam mengerang - seperti kesakitan.

..bandung, sept 2005...

Friday, October 07, 2005

bohong, simetri (essay)

…Tahukah Anda ada sebuah cara untuk melembagakan bohong. Seorang tahanan mati disiksa di penjara, dan Polisi Afrika Selatan (cerita ini terjadi sebelum Nelson Mandela jadi presiden dan rezim apartheid masih berkuasa) kemudian akan mengumumkan :

Si tahanan tewas jatuh tergelincir menginjak sabun. Seorang lain terbunuh dalam sel setelah dihajar oleh interrogator, dan maklumat yang dimunculkan ke public adalah bahwa si amti – karena sesal yang besar selama di penjara – meloncat lewat jendela dari tingkat atas dan mati terjerembab di pelataran.

Orang yang membaca pengumuman-pengumuman itu di media massa tentu (yang tentu saja disensor) tahu bahwa pengumuman polisi itu tidak untuk dipercaya. Juga oleh para petugas keamanan itu sendiri. Tapi mereka juga tahu, bahwa tak akan ada seorang pun menentang kebohongan itu. Yang palsu tak terusik. Orang yang menentang, toh, tak punya kuasa dan tempat untuk menyatakan pendapat yang bebas. Para pembangkang berada dalam bui atau gelisah di negeri asing.

Sementara itu, mereka yang menyokong dan menikmati diskriminasi rasial itu akan terus makan, bertambah makmur, bersetubuh, bekerja, beribadah, main billiard, piknik, tanpa peduli benar bahwa setiap kali ada yang dihinakan dan disiksa sebenarnya ada yang rusak dalam tata kehidupan. Kepalsuan adalah sejenis kekerasan, dan bila kekerasan itu berkait dengan kekerasan lain, terror akan menunggu siapa saja di setiap sudut.

Ada sebuah sajak dari luar negeri, Breyten Breytenbach yang simpati terhadap perlawanan Apartheid di Afrika Selatan, menulis sajak :

Aku berdiri di atas batu, di depan sesama manusia
Aku patung pembebasan
Yang dengan buah zakar yang disetrum listrik
Coba memekikkan cahaya ke dalam senja
Kutulis slogan dengan kencing yang merah
Di atas kulit dan lantai
Tetap terjaga
Meski tercekik oleh tali ususku sendiri dan tergelincir di atas
Sabun dengan tengkorak yang jadi retak aku bunuh diri dengan koran senja hari
Terjungkal dari lantai ke -10 di sorga dan jatuh ke hidup yang selamat, di jalan raya,
di antara orang ramai di sana.

Sajak itu menggunakan kata-kata yang terkenal dalam pengumuman polisi : ‘tergelincir di atas sabun dengan tengkorak yang retak,’’Terjungkali dari lantai ke - 10". Tapi ia sebenarnya membalikkan kata-kata itu,’kode’itu, Pengarang Afrika Selatan yang lain, J.M. Coetzee, menulis sebuah kesimpulan esai tentang sensor, Giving Offense (1996). Di sana, ia mengatakan apa yang dicapai oleh Breytenbach : Ia ciptakan sebuah arena, tempat ‘kode-kode’ polisi itu dipertontonkan hanya sebagai kedok, dan sebab itu layak dicopot dan dihujat.

Sajak Breytenbach itu pun dilarang. Motif alasan pemberangusannya, dalam kata-kata Coetzee, adalah untuk tidak memberi karya Breytenbach itu sebuah pentas di depan umum, tidak memberi retorikanya yang unggul sebuah kekuatan yang bisa membongkar kode-kode yang keji itu.

Yang bagi saya menarik di sini adalah ketika kekuasaan menganggap kebohongan sebagai dinas. Kebohongan telah menjadi dinas karena diasumsikan bahwa yang penting bukanlah percaya atau tidak percaya – sesuatu yang akhirnya bersifat pribadi – tetapi ada tugas yang harus dilakukan menurut aturan kepegawaian.

Penulis ingat, bahwa dalam sebuah acara pernikahan seorang perempuan teman penulis. Untuk keperluan administrasi ada dokumen acara pernikahan yang harus diisi. Maka Pak penghulu bertanya ke salah seorang saksi pria yang juga kebetulan teman penulis. Waktu itu, teman penulis yang pria baru saja di-PHK dari kantor tempatnya bekerja. Maka teman pria saya itu menjawab dengan takzim : “Menganggur.” Pak Penghulu, seolah tak mendengar, dengan kalem mengambil pena-nya dan menulis sambil menyimpulkan : “O, maksudnya orang swasta.”

Swasta dan negeri sebuah status yang ternyata sangat lebih layak dibanding dengan status penganggur yang diakui dengan jujur.

Lalu ada sebuah cerita lain, seorang mahasiswa asing dari Jerman pernah diperiksa petugas kepolisian Jogjakarta menjelang pemilu 1999, karma dia ditangkap karena melakukan pelanggaran kecil, lupa membawa SIM & STNK Motor Honda CB-nya. Untuk keperluan Berita Acara Pemeriksaan, ia ditanya apa agamanya. Mahasiswa itu, seorang ateis yang yakin, menjawab dengan bahasa Indonesia yang fasih:”Saya tidak punya agama.”

Polisi (agak kaget dan heran):”Yang bener?”
Mahasiswa asing itu : “Bener”
Polisi (setelah terdiam sebentar):”Wah, bagaimana ini….Bapak jangan merepotkan saya, dong. Sebut saja agamanya apa.”
Mahasiswa asing itu : “Saya tidak beragama.”
Polisi (garuk-garuk kepala): “Bagaimana kalau Kristen?”
Mahasiswa asing itu : “Bukan !”
Polisi : “Ah, saya repot, nih. Ini kan harus diisi?”
Mahasiswa asing itu : “Tapi, Pak, saya tidak beragama,”
Polisi (sambil mengetik berita acara):”Saya tulis Kristen, ya.”
Mahasiswa asing itu : “Lo, jangan. Pak.”
Polisi : “Sudahlah, agamanya Kristen saja, saya yang bertanggung jawab”.

Sebuah cerita lainnya tentang pak Dokter yang baru lulus dari sekolah di kota besar dengan penderita penyakit Kudis di sebuah desa di Pinggiran kota Kendari. Untuk keperluan pengisian kartu rekam medis, si pasien ditanya obat yang dikonsumsinya. Si pasien dengan lugunya menjawab: “Saya minum jamu, Dok.”

Dokter muda (mengernyitkan dahi) :”Masak hanya minum jamu?”
Pasien : “Benar Dok”
Dokter muda :”Obat herbal kali atau obat tradisional ?”
Pasien : “Bukan dok, jamu seduh biasa !”
Dokter muda :"Kalau gitu aku tulis Obat bebas saja ya, saya yang tanggung jawab. ”

Pak Polisi di Jogja itu tahu bahwa yang ditulisnya tak benar, meskipun ia tahu soal agama adalah soal iman dan ada hubungan dengan Tuhan. Sebagaimana Pak Penghulu dalam pengalaman saya juga tahu bahwa yang dicatatnya salah. Pun seorang dokter muda tak rikuh untuk mencatat sebuah hal yang tak benar demi lancarnya pasokan obat dari kantor pusat.

Tapi birokrasi dengan kelindan kekuasaan di dalamnya rupanya tak bisa memberikan ruang kemungkinan untuk menghubungkan kolom “agama” dengan sebuah ruang kosong atau kata “ateis” atau kolom “pekerjaan” dalam surat nikah resmi itu dengan kata “pengangguran atau menganggur” atau kolom “jenis obat yang biasa dikonsumsi” dalam sebuah formulir rekam medis..

Hidup punya begitu banyak hal yang tak terduga,. Sebab itu penulis yakin Hidup tak senantiasa jelas. Tapi, aturan resmi membutuhkan hal-hal yang kategoris. Hasilnya : sebuah kekerasan meringkus ragam kemungkinan yang tak pernah terduga itu. Kekerasan yang dibungkus dalam sebuah kepura-puraan, yang tak pernah jelas lagi apa tujuannya (untuk mencatat fakta atau hanya mengisi apa yang harus diisi), namun harus tetap dilakukan, semacam ritual, semacam ketika orang menaikkan bendera nasional dengan berbaris amat rapi, atau angkat gelas dalam sebuah jamuan, atau pakai dasi rapi jali dalam sebuah resepsi.

Orang yang berkuasa dengan kekerasan akhirnya tak selalu yakin dengan diri sendiri. Melembagakan kebohongan memang akan terasa seperti membangun sebuah republik dari kotak kosong. Satu boks kardus yang tak tahan guncangan akan menyebabkan kardus lainnya segera berantakan. Akan tetapi, birokrasi punya ritual lain yang tersembunyi. Orang-orang berseragam itu memasukkan akal budi dan hati nurani mereka yang tak seragam ke dalam laci dari pukul 09.00 sampai pukul 16.00 dan setelah itu diistirahatkan total.

Kekerasan sendiri punya sisi cerita sendiri. Menuntut balas misalnya, adalah keinginan yang purba umurnya. Sejak Musa dan Mahabaratha, dan sering membangun sebuah cerita yang tak kalah memikatnya. Ada suspens yang menuntun penyelesaian. Seperti epik Hamlet, seperti Film Silat Hongkong. Ternyata manusia punya ingatan dan membutuhkan sebuah simetri kekerasan.

Simetri itu kita beri nama yang sangat sulit, yaitu keadilan. Namun menurut pendapat penulis, keadilan adalah suatu hal, pembalasan adalah hal lain. Keadilan tak sendirinya menuntut persamaan rasa sakit, persamaan keganasan, atau bahkan persamaan perlakuan baik. Keadilan mendorong keinginan untuk memperbaiki keadaan bersama, agar penderitaan tak ada. Keadilan mendasarkan diri pada sikap memandang bahwa “kebersamaan” itu mengandung syukur. Sering, demi keadilan, orang terbawa untuk menekankan “kesamaan antar manusia”. Namun kita tahu bahwa “kesamaan” tak identik dengan “ kebersamaan”, dan “manusia” tak identik dengan “puak”.

Bima, dalam Mahabrata, bisa jadi menjadi sentra tokoh cerita keadilan, tapi juga cerita pembalasan puak. Apa yang ditegakkan oleh Bima sebenarnya ketika ia menghantam hancur paha Kurupati dalam pertempuran terakhir? Bukan keadilan. Kurupati memang lebih dulu mengusir dan mencoba membinasakan para Pandawa dengan api. Tetapi bila perang Mahabaratha itu dilihat sebagai tindakan menuntut balas, dan bukan sebuah ikhtiar untuk membebaskan para Pandawa – yaitu para korban – dari kesewenang-wenangan, maka pertempuran itu hanya mengasyikkan sebagaimana juga ia absurd, tak punya makna.

Bahkan yang dihadirkan bukanlah sebuah simetri. Rasa sakit yang diderita Kurapati tak ada hubungannya dengan rasa sakit Bima : bahkan dari kelima Pandawa itu yang dulu diperlakukan demikian oleh orang Kurawa. Dibuang tiga belas tahun di hutan memang penderitaan yang panjang bagi para pangeran itu, tetapi sebetulnya perkaranya bisa dianggap beres seandainya Pandawa, yang memang menang dalam perang, kembali ke tahta tanpa menganiaya seorang Kurawa pun.

Tetapi bila si korban telah berhenti menjadi korban pada saat ia menjadi algojo terhadap orang yang dulu mengorbankannya, pengalgojoan mulai menjadi lingkaran setan, algojo tetap akan ada, dan korban akan selalu ada.

Hanya posisi yang berubah. Bahkan simetri keadilan di sini akhirnya menjadi sebuah ilusi. Sebab manakah yang lebih pedih : Drupadi yang dipermalukan di balairung perjudian oleh Dursasana, ataukah kematian Dursasana yang darahnya ditenggak Bima bertahun-tahun kemudian? Kita memang marah sebagaimana Bima marah melihat bagaimana sewenang-wenangnya pangeran Kurawa itu ketika ia menrasa sudah punya hak atas Drupadi : Ia mencoba membuka kain perempuan dan menelanjanginya di depan umum dengan tawa kemenangan. Tetapi sebenarnya kita tahu bukan hanya Dursasana yang melanggar keadilan – bahkan bukan dia yang pertama melakukannya. Si tidak adil yang paling awal adalah Yudistira, yang bermain judi, kalah, dan meletakkan putri yang diperistrikannya itu sebagai benda taruhan.

Menyaksikan bagaimana Drupadai dinistakan, Bima bersumpah kelak akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya. Tapi ia tak berbuat apa-apa untuk menghukum Yudistira, kakaknya, anggota puaknya. Bagaimana kita bisa menganggap nepotisme itu sebuah tema keadilan? Hanya sebuah lingkaran setan kekerasan belaka.

Perang Bharatayudha akhirnya memang tak punya makna jika kita melihatnya sebagai kisah “satu nyawa untuk satu nyawa, sebiji mata untuk sebiji mata”. Absudirtas itulah yang membayang sebuah “sub-teks” Mahabrata : sebuah cerita ngeri yang diselundupkan (dan kemudian kita temukan dan kita terkejut) ke dalam sebuah cerita agung yang tampaknya berkisah tentang perjuangan antara yang mulia dan yang keji. Sebab, tatkala perang selesai dan begitu banyak orang yang terbunu, para pangeran Pandawa akhirnya tak memperoleh sesuatu yang bisa dipertahankan. Satu hal yang kemudian mereka sadari adalah bahwa takhta Amarta tak bisa kekal. Generasi kedua Pandawa telah habis, gugur : Gatotkaca, Abimanyu….Demikianlah di akhir epos Mahabaratha, kelima orang yang menang itu – Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa – berjalan menuju Mahameru untuk menemukan mati. Juga Neraka.

Apa yang didapatkan Hamlet ? Ia memang akhirnya menikam orang telah membunuh ayahnya secara khianat. Tetapi semuanya hancur dan punah : Ophelia, kekasihnya, telah mati lebih dulu; Ibunya, Getrude, meminum racun dari gelas yang salah; dan juga ia sendiri tertikam pedang yang diisi warangan. Maka ada yang lebih brutal ketimbang adegan berdarah dalam lakon Hamlet ini. Hamlet hidup dengan amanat yang jatuh kepadanya dari hantu sang Ayah – hantu yang dating dari dunia yang tanpa rasa sakit tapi mendorongnya untuk menyakiti orang lain dan menyakiti diri sendiri. Akhirnya semuanya menjadi kekosongan.

Ketika korban menuntu balas dan jadi algojo, yang ada seakan-akan adalah penyamaan. Tetapi mempersamakan nasib bukanlah menegakkan keadilan. Ada mushala yang pecah kacanya dan kabar angin bahwa sejumlah mesjid dibakar, maka sejumlah gereja nun jauh disana pun dihancurkan. Ada gereja dihancurkan, maka ribuan kilometer jauhnya dari sana, sebuah masjid pun ganti diratakan. Kita tak peduli lagi siapa yang melakukan, yang salah (belum tentu pasti salahnya dan bisa jadi merupakan kebohongan belaka) dan harus diberi balas.

Adakah Tuhan, yang tanpa rasa pedih itu, menghendaki kita seperti Hamlet, punya obsesi untuk mempersamakan keadilan? Jangan-jangan kita hidup dalam simetri yang salah. Ketika kita menghantam gigi orang lain atas nama keadilan, justru ada yang hancur dalam nilai hakiki dalam keadilan – yaitu kebahagiaan dalam kebersamaan. Bukan gigi, bukan mata, bukan nyawa.

Wednesday, October 05, 2005

Agama & Konflik

Jakarta suatu malam, udara menyesakkan pori-pori, namun mata saya belum mau lelah mengikuti alur kronologispertikaian antara Ahmadiyah di satu sisi dan sebuah Majelis di sisi lainnya. Mirip adegan tinju di, dua-dua petinju sedang ada di pojok ring, konsolidasi untuk babak konflik selanjutnya. Konflik berkelidan, belum mencapai titik temu, belum mencapai sepakat untuk tidak sepakat. Yang satunya memegang kuasa-yang juga abstrak-dan yang satunya makin merasa keras bahwa keyakinannya layak untuk hidup dan berkembang.
tema konflik dengan mengusung panji-panji agama, kepercayaan, keyakinan dan segala sesuatu yang subtil masih terus berulang di melinium ini, dengan beragam variansi dan anasirnya terus bergerak dengan ragam ekspresinya, membentuk valensi yang terus berubah-ubah sebagai sebuah kekuatan. suatu kali ia bersifat X ketika pemeluknya ditindas, kali lain akan berubah menjadi Y ketika pemeluknya menindas.

Bayangkan saja tuan penganut muslim di palestina dan hidup serta berbagi nafas dengan pemeluk yahudi di jalur gaza, atau cobalah anda menjadi penganut kristen anglikan di tengah-tengah belfast, irlandia utara yang mayoritas katolik. mayoritas melambangkan kuasa, sedang minoritas atas nama jumlah, atas nama keinginan untuk sekedar eksis, dihargai, mendapat senyum dan sapa tiap sore hari. Di pojok-pojok dunia yang makin renta ini, kita bisa menyaksikan tema konflik.

Bayangkan anda jadi muslim di sebuah kota kecil di Bosnia Timur, bersentuhan langsung dengan serbia dan kroasia. di pinggiran sungai Drina yang mengalir deras. Bayangkan anda di musim semi di tahun 1992, pohon-pohon menghijau, tapi anda ketakutan. Milisi-milisi Serbia menguasai kota, penduduk muslim seperti anda dilarang keluar, lalu penangkapan dimulai, dalam hitungan hari, anda digiring ke sebuah kamp, berbaris satu-satu, lalu anda lihat mesjid tempat anda shalat jum'at berjamaah beberapa pekan sebelumnya, di atas permadani hijau dengan motif kembang jingga dan merah bergantian. namun ketika anda berbaris, mendadak ledakan besar menyebabkan mesjid itu rata dengan tanah, beberapa orang milisi telah meletakkan dinamit dan dalam satu kali ledakan, mesjid itu hilang dari tatapan anda, luluh lantak.

Sejarah mencatat, di kota-kota seperti Foca, Srebenika, di pelosok Bosnia sepanjang tahun 1992 hingga 1993, kekejaman berlanjut, perempuan-perempuan diperkosa secara nista, laki-laki dibantai, harta benda digusur, orang-orang muslim masuk ke kamp konsentrasi, persis seperti Nazi menggiring orang Yahudi di wilayah yang sama di perang dunia. Atau persis seperti Nazi menggiring partisan anak buah Broz Tito yang tertangkap di perang dunia ke II.

Di 2005 ini, Jakarta yang panas mencatat, penganut Ahmadiyah menyakini Ghulam Ahmad menerima wahyu, dan status kenabian Ghulam masih berlangsung. Pemeluk Islam lainnya juga wajar menganggap bahwa keyakinan Ahmadiyah itu dipandang merusak akidah dan menyimpang dari Islam.Beda paham antar-pemeluk beda agam, sesama pemeluk Islam, bahkan di antara sebuah organisasi Islam semakin tajam di tengah arus deras globalisasi. Penyelesaian sengketa keagamaan lebih mirip pertandingan tinju tanpa wasit, tanpa akhir. Cenderung diselesaikan dengan aksi pengerahan massa disertai kekerasan. Seolah Islam hanya bisa hadir dengan teror dan kekerasan.

Keyakinan Islam sebagai ajaran yang sempurna dan tunggal sering menempatkan sebagian umatnya sebagai Tangan Tuhan yang hendak menghakimi siapa saja yang berbeda, jika perlu dengan kekerasan, amuk. Pemeluk islam - agama yang santun dan damai - tampaknya mesti berdamai dengan pemeluk Islam lainnya.

Toleransi keagamaan bagi kemuliaan kemanusiaan, bukan untuk mengubah keyakinan, semakin penting untuk dikembangkan. Tuhan sendiri berfirman, jika Dia berkehendak, maka seluruh manusia akan memeluk satu agam dengan paham yang seragam. Tapi Dia biarkan semua berlangsung alami untuk menguji siapa yang terbaik.

Namun apa artinya? bukankah mabuk kemenangan hanya akan bisa dinikmati dalam beberapa bulan saja? teror dibalas dengan teror, dan atas nama agama. Apa yang menjadi fanatik bagi sebagian orang bersenjata akhirnya mengarah pada kesia-siaan. Yang tersisa; kehancuran peninggalan sejarah, kampung halaman porak poranda, relasi kekerabatan sekejap hilang.

Tema itulah yang tampaknya selalu berulang dalam lintasan sejarah peradaban manusia, dengan segala variasinya. Pelbagai anasir agama, apa pun ekspresinya membentuk valensi yang berubah-ubah sebagai sebuah kekuatan. Ia bersifat "X" ketika pemeluknya ditindas, dan ia bersifat "Y" ketika pemeluknya menindas.

Seorang penyair Inggris, bertanya kepada seekor harimau, "Did he who made the lamb make thee?"-adakah ia yang menciptakan domba juga menciptakanmu? Di sini, Tuhan selamanya ditafsirkan. Kita tak pernah berhubungan langsung dengan Dia. Dalam sajak Blake yang penuh pertanyaan itu, Tuhan dapat dibayangkan sebagai kemahakuasaan membuat domba yang lemah tapi selamat, tapi juga membuat sang macan penguasa hutan juga tampil gagah.

Agama, di tangan yang berkuasa dan pemeluk yang kuat, dengan gampang membuka godaan untuk memilih Tuhan yang mencipta si raja hutan; Tuhan yang menghadirkan kekuasaan, kecurigaan dan kekerasan sebagai anasir kelebihan Makhluk-Nya.

Namun, penulis menilai, di balik godaan untuk tampil berkuasa, kuat, dengan kekerasan bila perlu, bahwa di situ ada keyakinan yang cemas. Tuhan dibayangkan sebagai kuasa yang penuh amarah dan cemburu, mereka merasakan ada lubang yang masih menganga dalam hidup. Seorang "Pembela Tuhan" merasa mendapat mandat dan kehendak dari Dia tentu menginginkan muka bumi yang bersih dari apa saja yang najis, mencong, ataupun kotor. Mereka siap, apabila ada yang mengganggu sabda-Nya, untuk membuat manusia yang najis, mencong tadi disingkirkan, mesjid didinamit, gereja dibakar dan kuil diruntuhkan. Di setiap lintasan sejarah agama, hal itu terjadi. Tapi akhirnya selalu terbukti, gerak kehidupan selalu lebih rumit, lebih sulit ketimbang jalan yang lurus, hidup manusia ibarat lubuk yang kedap cahaya - bahkan jika cahaya itu datang dari iman yang kuat.

Semakin jauh yang mencong itu, semakin besar lubang kekurangan yang menganga itu, semakin besar nafsu untuk meluruskan jalan manusia, dan kita pun mendadak lupa bahwa ajaran agama manapun tak pernah menyimpan asumsi yang suci sama dengan yang lempang dan terang. "Cahaya" yang muncul di kitab suci melalui penafsiran sering muncul sebagai "cahaya" yang menyentuh, mempesona, menyebabkan kita tergetar, bukan cahaya yang seperti neon dengan sinar yang mereduksi bayang-bayang.

Sebuah sajak Amir Hamzah tepat menggambarkan Cahaya Tuhan sebagai "kerlip lilin di kelam sunyi", sinar yang sabar, setia, selalu, dan tak mantap. Cahaya yang suci juga misterius sebagai sesuatu yang tak dapat diuraikan, dibuktikan atau diargumentasikan. Yang suci bukanlah tempat memperoleh klasifikasi tentang hal-ihwal yang

hidup. Agama apa pun mengandung pengakuan yang mendasar kepada enigma nasib, kelahiran, dan kematian - dan sebab itulah agama bisa menumbuhkan kerendahan hati.

Pemeluk ahmadiyah sendiri perlu bercermin dan lebih terbuka mengkomunikasikan pandangan atas wahyu dan kenabian, termasuk makna Al-Mahdi. Para pihak yang memandang Ahmadiyah sesat dan mencong perlu melakukan tabbayyun (klarifikasi) melalui dialog guna menemukan titik kesepahaman. Kesediaan melakukan dialog secara terbuka itu akhirnya semakin penting, tak terhindarkan untuk menemukan yang terbaik bagi kemanusiaan, sehingga Islam benar-benar memberi rahmat bagi seluruh umat manusia.

Bayangkanlah lagi, kita sebagai umat yang terpojok, di pihak yang terancam dan tak bisa lagi berharap. Kitka akan terdesak dan bertanya, apa gerangan Kehendak-Nya, dan kita tahu bahwa kita tak tahu. Satu hal yang pasti: dalam keadaan yang celaka itu, kita tak mungkin mengatakan "akulah kehendak itu". Kita tak hendak menjadikan diri kita pengganti-Nya. Di titik ini, satu hal menunjukkan: tak adanya ketakaburan itu menyebabkan agama bisa dipeluk dengan kuat karena rela.

Thursday, September 08, 2005

suatu waktu dengan Pakde Gi & Bude Gi...(Jetis-Jogja, 1995)

...
Jogja, tanggal 28 juli 1995 pukul 15.45, bis dari Banjar pun tiba, menempuh 300-an lebih km dalam kecepatan penuh,
bis berwarna krem itupun sampai di Umbul Harjo.
Aku turun di sana, dengan ransel hijau di punggung, dan satu kardus tempe mendoan oleh-oleh dari Cilacap, kota tempat
aku melakukan Geladi 1.

...
Di Jogja aku akan menuju rumah Pakde Gi dan Bude Gi, Pakde Gi ini bekerja sebagai kepala sekolah STM Negeri 1 Jogjakarta,
tinggal di daerah Jetis (aku menyebutnya Njetis). sedangkan istrinya Bude Gi bekerja juga sebagai guru di STM Negeri 4.
Di sebuah wartel aku telepon Pakde Gi, dan di ujung sana, suara Mbak Anna, kakak sepupuku yang menerima, aku bertanya
bagaimana caranya menuju ke Jetis dari terminal umbulharjo ini? Mbak Anna kemudian menyarankan aku naik sebuah angkot yang akan
berhenti di jalan ujung gang masuk komplek rumahnya. Setelah mencatat beberapa detail, jam 16.20 aku akhirnya mendapatkan
angkot yang menuju ke sana.

...
40 menit kemudian, aku akhirnya sampai di Jetis, jalur angkutan yang memutar-mutar sebagian kecil Jogja dan arus balik pegawai
kantor dan anak-anak sekolah membuat perjalanan tidak bisa cepat.
...
di mulut jalan menuju rumahnya aku ingat jalan menuju rumah Pakde Gi. Di mulut gang ada sebuah kios koran kecil, dan
di seberangnya ada losmen murah dengan desain bangunan art-deco.

...
sejurus kemudian aku sampai di rumah Pak de Gi, rumahnya relatif luas dibanding rumahku di Cempaka Putih Jakarta,
di halaman depan Senyum lebar Bude Gi (seorang wanita Purwokerto) menyambutku.

"Hey, Lik, ayo masuk, udah lama kamu ndak kesini!"
"Iya Bude, aku tadi lama di jalan, naik angkot yang berputar-putar"

Belum sempat bude Gi memlanjutkan percakapannya, suara Mbak Anna dan Mas Andi keluar dari dalam rumah.
"WWoooiiii orang Bandung, gimana kabarnya?" demikian teriak Mbak Anna, dia langsung menyalamiku.
"baik, Mbak, Mbak gimana ?"
"Aku sih apik-apik wae".
"Eh Lik, langsung dari Cilacap atau Banjar nih?", Mas Andi bertanya sambil menyalamiku.
"Dari Banjar Mas, dari Cilacap naik bis dulu ke Banjar untuk menyerahkan laporan ke salah satu pembimbing, lalu
siangnya langsung naik bis Jogja sini".

"Ya sudah, ayo masuk dulu Lik, masuk ke kamar-nya Anto sana gih, mandi-mandi dulu!", Bude Gi menyuruhku masuk ke rumahnya.
Aku hanya senyum saja dan berjalan mengikuti arah Mas Andi yang membantuku membawa ransel yang lumayan berat
(kurang lebih 28 Kg beratnya).
"Berat banget ranselnya nih Lik?, ngeborong apa aja sih?", sambil cengengesan dia membantu mengangkat ransel itu.

...

Pukul 18.10,
usai mandi, aku diajak shalat maghrib berjamaah oleh Mas Andi.
"Ayo Lik, kita ke musholla belakang, shalat maghrib bareng sama anak-anak sini!".
"Oke lah", jawabku.
"Eh, Ndi, Lik, nanti abis shalat, kamu jemput bapakmu ke Bandara ya ditemani Lilik ya, pesawatnya telat dari Jakarta, mestinya
jam 6 tadi udah sampai, tapi diundur sampai jam setengah delapan ini"
"Iya, Ma", jawab Mas Andi.
Aku hanya mengangguk dan mengiyakan.

...
Pukul 18.42, 28 Juli 1995
Di mobil Toyota DX itu, aku berbicara dengan Mas Andi tentang rencana kuliahnya. Mau masuk UGM atau ITB atau ke mana.
"Gimana Mas, jadi masuk UGM? mau ambil apa?"
"Ndak tahu lah, Lik, paling ngikutin Mbak Anna ambil Ekonomi, sekarang aku lagi cari-cari bimbingan belajar yang bagus."
"Coba SSC Mas, aku di Jakarta dulu ikut SSC kok."
"Iya, nanti aku akan bilang Bapak", ujarnya dengan senyum mengembang.

Pukul 19.10
aku sampai di Bandara Adi Sucipto, menunggu beberapa saat.
Lalu terdengar suara di Mikropon ruang tunggu menerangkan bahwa pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta dengan nomor
penerbangan sekian-sekian telah mendarat di Bandara Adi Sucipto.
"Nah itu pesawat Pakde udah datang, Mas", aku berkata ke Mas Andi.
"Iya nih, akhir-akhir ini Garuda sering telat nih, 3 minggu lalu pernah jemput Mbak Anna jam 1 Malam yang naik Garuda dari Surabaya".

Sejurus kemudian,
Sosok Pakde Gi terlihat di ujung pintu kedatangan, dari jauh dia melambaikan tangannya. Mas Andi dan Aku juga balas melambai.
Pakde Gi tampak gemuk, dengan setelan kemeja putih dan celana abu-abu gelap. Jas-nya tampak dicangklongkan di lengan kirinya.

"Halo Lik, wah kamu udah besar ya?, kapan sampai Jogja"
"Tadi sore Pakde", ujarku sambil mencium punggung tangannya.
"sendiri aja nih ke Jogja?"
"Iya Pakde, abis dari Geladi 1, kerja praktek di Cilacap, Banjar, Banyumas & Purwokerto".
"Lho kamu jadi ndak liburan dong".
"Ndak Pakde, di kampus kita, kalau liburan ya gini, kerja praktek di kantor-kantor Telkom di daerah-daerah".
"Wah hebat itu, jadi dekat dengan dunia kerja dong ya"
"Ya gitulah Pak De".

Pukul 19.50,
Aku, Mas Andi, Pakde Gi akhirnya sudah di mobil TOYOTA DX itu dan meluncur kembali ke arah Jetis. Di mobil, Pakde Gi bercakap-
cakap dengan Mas Andi. Menanyakan apa ada tamu yang datang ke rumah, apa pesanan buku untuk perpustakaan STM 1 sudah sampai.

Pukul 20.15
Aku, Pak De Gi, Bude Gi, Mbak Anna, Mas Andi dan Mas Anto berkumpul di meja makan di ruang makan rumah di Jetis itu.
Di makan malam itu, Bude Gi dan Pakde Gi banyak bercerita tentang rencana mereka membangun rumah kos-kos-an di daerah
Depok, Sleman, sekitar 15 km arah utara kota Jogja. Usaha di masa tua, hidup di Jogja akan semakin mahal kan di masa datang,
demikian PakDe Gi beralasan. Aku hanya banyak manggut-manggut saja di acara makan malam itu.

PakDe Gi nama lengkapnya Sugianto, adalah sosok guru penuh pengabdian, lulusan Fakultas Teknik UGM, di kala rekan-rekan
seangkatannya bergerak ke Jakarta, ia memilih bertahan di Jogja, menularkan ilmu Tekniknya ke anak-anak didiknya di Jogja.
"Aku ini apalah, kemanapun aku pergi, Jogja selalu memanggilku dan Salatiga selalu ingin kujelajahi", demikian ia pernah berujar
di rumahku, di terik Jakarta di tahun 1993. PakDe dan Bude Gi bertemu dikampusnya, saling berkenalan, bertukar harap dan
kekurangan, berbagi cerita dan kejadian. Selepas dari UGM, PakDe Gi pernah ke Malaysia, mengajar di beberapa sekolah kejuruan
di sana. Dunia Guru, dunia berbagi ilmu, dunia pengabdian untuk rakyat selalu ia yakini untuk teguh dijalankan.
"Rejeki, Jodoh dan Mati itu di tangan Allah SWT, aku dan budemu ini hanya menjalani saja, sebaik-baiknya yang kami bisa", di
akhir makan malam itu ia berujar pelan.

Di Jogja,
selama 5 hari aku tinggal, menyaksikan proses pembangunan rumah kosnya Pak De Gi. Pak De Gi menunjukkan kamar-kamar yang hendak dikos-nya, yang kelak hingga tahun 2005 ini masih berdiri dan menghidupi Mas Andi & Mas Anto.
Selama di Jogja Aku ke parangtritis, jalan-jalan ke Malioboro dan beberapa tempat lainnya.

2 Agustus 1995, pukul 20.40
Ada perasaan lain ketika hendak meninggalkan kota ini, ada perasaan yang sangat lain ketika Kereta Senja Utama membawaku kembali ke Bandung.

...

Wednesday, September 07, 2005

rasanya bir pletok...

...
aku belum cerita mengenai birpletok... aku namakan demikian karena di sudut tempat pemberhentian bis di kota Banjar kota kecil di sudut Jawa Tengah, aku mencari coca-cola dulu, namun malah oleh si empunya warung dia memberikan ini bir pletok ini..

...
sepotong percakapan yang kuingat :
"Mbak, ada coca cola...emh, atau sprit dingin?"
"...emhh..coca cola-nya habis, spritnya juga ndak ada, mau bir pletok aja Mas?"

Si empunya warung usianya kurang lebih awal 30-an...berambut hitam berombak, dengan tempelan koyo di kedua keningnya... anaknya yang berumur kira-kira 1 tahun tampak menggelendot di ayunan di dadanya...berpipi agak tembam dengan kulit kuning kecoklatan...

"boleh deh, coba aku rasa"

disodorkannya botol kecil, tulisannya bir pletok dengan botol warna hijau, aku lupa mereknya apa...permukaan dingin menyelimuti botol hijau kecil itu...
di tengah terik panas kota Banjar siang itu, di tahun 1995, usai Geladi I, aku minum dalam hitungan detik...

rasanya aneh, seperti beras kencur, namun ada perpaduan rasa pahit dan asam...
dalam 2 kali tenggukan, bir itu langsung menggelontor masuk ke kerongkonganku, botol berikutnya
aku tenggak lagi namun tidak habis... karena bis ukuran 3/4 menuju Jogja sudah terlihat di kejauhan...aku bayar sebanyak 2500 perak untuk dua botol bir pletok itu... Oooo satunya seribu dua ratus lima puluh perak..

di bis, aku duduk paling belakang, berdempetan dengan pedagang kulit sapi yang membawa dagangannya..aneh, minum bir tapi ndak terasa mabuk... dahaga sih hilang...

bis melaju ke Jogja...

and the story of my life begins...

...
aku pilih nama birpletok, karena bir ini pernah begitu nikmat aku rasakan di suatu hari
yang terik, di perjalanan dari sebuah kota kecil menuju Jogjakarta...

menulis lagi, setelah sekian lama vakum, beku...berbicara lagi dengan diriku dan diketahui
oleh orang lain...

and the story of my life begins !