Friday, October 07, 2005

bohong, simetri (essay)

…Tahukah Anda ada sebuah cara untuk melembagakan bohong. Seorang tahanan mati disiksa di penjara, dan Polisi Afrika Selatan (cerita ini terjadi sebelum Nelson Mandela jadi presiden dan rezim apartheid masih berkuasa) kemudian akan mengumumkan :

Si tahanan tewas jatuh tergelincir menginjak sabun. Seorang lain terbunuh dalam sel setelah dihajar oleh interrogator, dan maklumat yang dimunculkan ke public adalah bahwa si amti – karena sesal yang besar selama di penjara – meloncat lewat jendela dari tingkat atas dan mati terjerembab di pelataran.

Orang yang membaca pengumuman-pengumuman itu di media massa tentu (yang tentu saja disensor) tahu bahwa pengumuman polisi itu tidak untuk dipercaya. Juga oleh para petugas keamanan itu sendiri. Tapi mereka juga tahu, bahwa tak akan ada seorang pun menentang kebohongan itu. Yang palsu tak terusik. Orang yang menentang, toh, tak punya kuasa dan tempat untuk menyatakan pendapat yang bebas. Para pembangkang berada dalam bui atau gelisah di negeri asing.

Sementara itu, mereka yang menyokong dan menikmati diskriminasi rasial itu akan terus makan, bertambah makmur, bersetubuh, bekerja, beribadah, main billiard, piknik, tanpa peduli benar bahwa setiap kali ada yang dihinakan dan disiksa sebenarnya ada yang rusak dalam tata kehidupan. Kepalsuan adalah sejenis kekerasan, dan bila kekerasan itu berkait dengan kekerasan lain, terror akan menunggu siapa saja di setiap sudut.

Ada sebuah sajak dari luar negeri, Breyten Breytenbach yang simpati terhadap perlawanan Apartheid di Afrika Selatan, menulis sajak :

Aku berdiri di atas batu, di depan sesama manusia
Aku patung pembebasan
Yang dengan buah zakar yang disetrum listrik
Coba memekikkan cahaya ke dalam senja
Kutulis slogan dengan kencing yang merah
Di atas kulit dan lantai
Tetap terjaga
Meski tercekik oleh tali ususku sendiri dan tergelincir di atas
Sabun dengan tengkorak yang jadi retak aku bunuh diri dengan koran senja hari
Terjungkal dari lantai ke -10 di sorga dan jatuh ke hidup yang selamat, di jalan raya,
di antara orang ramai di sana.

Sajak itu menggunakan kata-kata yang terkenal dalam pengumuman polisi : ‘tergelincir di atas sabun dengan tengkorak yang retak,’’Terjungkali dari lantai ke - 10". Tapi ia sebenarnya membalikkan kata-kata itu,’kode’itu, Pengarang Afrika Selatan yang lain, J.M. Coetzee, menulis sebuah kesimpulan esai tentang sensor, Giving Offense (1996). Di sana, ia mengatakan apa yang dicapai oleh Breytenbach : Ia ciptakan sebuah arena, tempat ‘kode-kode’ polisi itu dipertontonkan hanya sebagai kedok, dan sebab itu layak dicopot dan dihujat.

Sajak Breytenbach itu pun dilarang. Motif alasan pemberangusannya, dalam kata-kata Coetzee, adalah untuk tidak memberi karya Breytenbach itu sebuah pentas di depan umum, tidak memberi retorikanya yang unggul sebuah kekuatan yang bisa membongkar kode-kode yang keji itu.

Yang bagi saya menarik di sini adalah ketika kekuasaan menganggap kebohongan sebagai dinas. Kebohongan telah menjadi dinas karena diasumsikan bahwa yang penting bukanlah percaya atau tidak percaya – sesuatu yang akhirnya bersifat pribadi – tetapi ada tugas yang harus dilakukan menurut aturan kepegawaian.

Penulis ingat, bahwa dalam sebuah acara pernikahan seorang perempuan teman penulis. Untuk keperluan administrasi ada dokumen acara pernikahan yang harus diisi. Maka Pak penghulu bertanya ke salah seorang saksi pria yang juga kebetulan teman penulis. Waktu itu, teman penulis yang pria baru saja di-PHK dari kantor tempatnya bekerja. Maka teman pria saya itu menjawab dengan takzim : “Menganggur.” Pak Penghulu, seolah tak mendengar, dengan kalem mengambil pena-nya dan menulis sambil menyimpulkan : “O, maksudnya orang swasta.”

Swasta dan negeri sebuah status yang ternyata sangat lebih layak dibanding dengan status penganggur yang diakui dengan jujur.

Lalu ada sebuah cerita lain, seorang mahasiswa asing dari Jerman pernah diperiksa petugas kepolisian Jogjakarta menjelang pemilu 1999, karma dia ditangkap karena melakukan pelanggaran kecil, lupa membawa SIM & STNK Motor Honda CB-nya. Untuk keperluan Berita Acara Pemeriksaan, ia ditanya apa agamanya. Mahasiswa itu, seorang ateis yang yakin, menjawab dengan bahasa Indonesia yang fasih:”Saya tidak punya agama.”

Polisi (agak kaget dan heran):”Yang bener?”
Mahasiswa asing itu : “Bener”
Polisi (setelah terdiam sebentar):”Wah, bagaimana ini….Bapak jangan merepotkan saya, dong. Sebut saja agamanya apa.”
Mahasiswa asing itu : “Saya tidak beragama.”
Polisi (garuk-garuk kepala): “Bagaimana kalau Kristen?”
Mahasiswa asing itu : “Bukan !”
Polisi : “Ah, saya repot, nih. Ini kan harus diisi?”
Mahasiswa asing itu : “Tapi, Pak, saya tidak beragama,”
Polisi (sambil mengetik berita acara):”Saya tulis Kristen, ya.”
Mahasiswa asing itu : “Lo, jangan. Pak.”
Polisi : “Sudahlah, agamanya Kristen saja, saya yang bertanggung jawab”.

Sebuah cerita lainnya tentang pak Dokter yang baru lulus dari sekolah di kota besar dengan penderita penyakit Kudis di sebuah desa di Pinggiran kota Kendari. Untuk keperluan pengisian kartu rekam medis, si pasien ditanya obat yang dikonsumsinya. Si pasien dengan lugunya menjawab: “Saya minum jamu, Dok.”

Dokter muda (mengernyitkan dahi) :”Masak hanya minum jamu?”
Pasien : “Benar Dok”
Dokter muda :”Obat herbal kali atau obat tradisional ?”
Pasien : “Bukan dok, jamu seduh biasa !”
Dokter muda :"Kalau gitu aku tulis Obat bebas saja ya, saya yang tanggung jawab. ”

Pak Polisi di Jogja itu tahu bahwa yang ditulisnya tak benar, meskipun ia tahu soal agama adalah soal iman dan ada hubungan dengan Tuhan. Sebagaimana Pak Penghulu dalam pengalaman saya juga tahu bahwa yang dicatatnya salah. Pun seorang dokter muda tak rikuh untuk mencatat sebuah hal yang tak benar demi lancarnya pasokan obat dari kantor pusat.

Tapi birokrasi dengan kelindan kekuasaan di dalamnya rupanya tak bisa memberikan ruang kemungkinan untuk menghubungkan kolom “agama” dengan sebuah ruang kosong atau kata “ateis” atau kolom “pekerjaan” dalam surat nikah resmi itu dengan kata “pengangguran atau menganggur” atau kolom “jenis obat yang biasa dikonsumsi” dalam sebuah formulir rekam medis..

Hidup punya begitu banyak hal yang tak terduga,. Sebab itu penulis yakin Hidup tak senantiasa jelas. Tapi, aturan resmi membutuhkan hal-hal yang kategoris. Hasilnya : sebuah kekerasan meringkus ragam kemungkinan yang tak pernah terduga itu. Kekerasan yang dibungkus dalam sebuah kepura-puraan, yang tak pernah jelas lagi apa tujuannya (untuk mencatat fakta atau hanya mengisi apa yang harus diisi), namun harus tetap dilakukan, semacam ritual, semacam ketika orang menaikkan bendera nasional dengan berbaris amat rapi, atau angkat gelas dalam sebuah jamuan, atau pakai dasi rapi jali dalam sebuah resepsi.

Orang yang berkuasa dengan kekerasan akhirnya tak selalu yakin dengan diri sendiri. Melembagakan kebohongan memang akan terasa seperti membangun sebuah republik dari kotak kosong. Satu boks kardus yang tak tahan guncangan akan menyebabkan kardus lainnya segera berantakan. Akan tetapi, birokrasi punya ritual lain yang tersembunyi. Orang-orang berseragam itu memasukkan akal budi dan hati nurani mereka yang tak seragam ke dalam laci dari pukul 09.00 sampai pukul 16.00 dan setelah itu diistirahatkan total.

Kekerasan sendiri punya sisi cerita sendiri. Menuntut balas misalnya, adalah keinginan yang purba umurnya. Sejak Musa dan Mahabaratha, dan sering membangun sebuah cerita yang tak kalah memikatnya. Ada suspens yang menuntun penyelesaian. Seperti epik Hamlet, seperti Film Silat Hongkong. Ternyata manusia punya ingatan dan membutuhkan sebuah simetri kekerasan.

Simetri itu kita beri nama yang sangat sulit, yaitu keadilan. Namun menurut pendapat penulis, keadilan adalah suatu hal, pembalasan adalah hal lain. Keadilan tak sendirinya menuntut persamaan rasa sakit, persamaan keganasan, atau bahkan persamaan perlakuan baik. Keadilan mendorong keinginan untuk memperbaiki keadaan bersama, agar penderitaan tak ada. Keadilan mendasarkan diri pada sikap memandang bahwa “kebersamaan” itu mengandung syukur. Sering, demi keadilan, orang terbawa untuk menekankan “kesamaan antar manusia”. Namun kita tahu bahwa “kesamaan” tak identik dengan “ kebersamaan”, dan “manusia” tak identik dengan “puak”.

Bima, dalam Mahabrata, bisa jadi menjadi sentra tokoh cerita keadilan, tapi juga cerita pembalasan puak. Apa yang ditegakkan oleh Bima sebenarnya ketika ia menghantam hancur paha Kurupati dalam pertempuran terakhir? Bukan keadilan. Kurupati memang lebih dulu mengusir dan mencoba membinasakan para Pandawa dengan api. Tetapi bila perang Mahabaratha itu dilihat sebagai tindakan menuntut balas, dan bukan sebuah ikhtiar untuk membebaskan para Pandawa – yaitu para korban – dari kesewenang-wenangan, maka pertempuran itu hanya mengasyikkan sebagaimana juga ia absurd, tak punya makna.

Bahkan yang dihadirkan bukanlah sebuah simetri. Rasa sakit yang diderita Kurapati tak ada hubungannya dengan rasa sakit Bima : bahkan dari kelima Pandawa itu yang dulu diperlakukan demikian oleh orang Kurawa. Dibuang tiga belas tahun di hutan memang penderitaan yang panjang bagi para pangeran itu, tetapi sebetulnya perkaranya bisa dianggap beres seandainya Pandawa, yang memang menang dalam perang, kembali ke tahta tanpa menganiaya seorang Kurawa pun.

Tetapi bila si korban telah berhenti menjadi korban pada saat ia menjadi algojo terhadap orang yang dulu mengorbankannya, pengalgojoan mulai menjadi lingkaran setan, algojo tetap akan ada, dan korban akan selalu ada.

Hanya posisi yang berubah. Bahkan simetri keadilan di sini akhirnya menjadi sebuah ilusi. Sebab manakah yang lebih pedih : Drupadi yang dipermalukan di balairung perjudian oleh Dursasana, ataukah kematian Dursasana yang darahnya ditenggak Bima bertahun-tahun kemudian? Kita memang marah sebagaimana Bima marah melihat bagaimana sewenang-wenangnya pangeran Kurawa itu ketika ia menrasa sudah punya hak atas Drupadi : Ia mencoba membuka kain perempuan dan menelanjanginya di depan umum dengan tawa kemenangan. Tetapi sebenarnya kita tahu bukan hanya Dursasana yang melanggar keadilan – bahkan bukan dia yang pertama melakukannya. Si tidak adil yang paling awal adalah Yudistira, yang bermain judi, kalah, dan meletakkan putri yang diperistrikannya itu sebagai benda taruhan.

Menyaksikan bagaimana Drupadai dinistakan, Bima bersumpah kelak akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya. Tapi ia tak berbuat apa-apa untuk menghukum Yudistira, kakaknya, anggota puaknya. Bagaimana kita bisa menganggap nepotisme itu sebuah tema keadilan? Hanya sebuah lingkaran setan kekerasan belaka.

Perang Bharatayudha akhirnya memang tak punya makna jika kita melihatnya sebagai kisah “satu nyawa untuk satu nyawa, sebiji mata untuk sebiji mata”. Absudirtas itulah yang membayang sebuah “sub-teks” Mahabrata : sebuah cerita ngeri yang diselundupkan (dan kemudian kita temukan dan kita terkejut) ke dalam sebuah cerita agung yang tampaknya berkisah tentang perjuangan antara yang mulia dan yang keji. Sebab, tatkala perang selesai dan begitu banyak orang yang terbunu, para pangeran Pandawa akhirnya tak memperoleh sesuatu yang bisa dipertahankan. Satu hal yang kemudian mereka sadari adalah bahwa takhta Amarta tak bisa kekal. Generasi kedua Pandawa telah habis, gugur : Gatotkaca, Abimanyu….Demikianlah di akhir epos Mahabaratha, kelima orang yang menang itu – Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa – berjalan menuju Mahameru untuk menemukan mati. Juga Neraka.

Apa yang didapatkan Hamlet ? Ia memang akhirnya menikam orang telah membunuh ayahnya secara khianat. Tetapi semuanya hancur dan punah : Ophelia, kekasihnya, telah mati lebih dulu; Ibunya, Getrude, meminum racun dari gelas yang salah; dan juga ia sendiri tertikam pedang yang diisi warangan. Maka ada yang lebih brutal ketimbang adegan berdarah dalam lakon Hamlet ini. Hamlet hidup dengan amanat yang jatuh kepadanya dari hantu sang Ayah – hantu yang dating dari dunia yang tanpa rasa sakit tapi mendorongnya untuk menyakiti orang lain dan menyakiti diri sendiri. Akhirnya semuanya menjadi kekosongan.

Ketika korban menuntu balas dan jadi algojo, yang ada seakan-akan adalah penyamaan. Tetapi mempersamakan nasib bukanlah menegakkan keadilan. Ada mushala yang pecah kacanya dan kabar angin bahwa sejumlah mesjid dibakar, maka sejumlah gereja nun jauh disana pun dihancurkan. Ada gereja dihancurkan, maka ribuan kilometer jauhnya dari sana, sebuah masjid pun ganti diratakan. Kita tak peduli lagi siapa yang melakukan, yang salah (belum tentu pasti salahnya dan bisa jadi merupakan kebohongan belaka) dan harus diberi balas.

Adakah Tuhan, yang tanpa rasa pedih itu, menghendaki kita seperti Hamlet, punya obsesi untuk mempersamakan keadilan? Jangan-jangan kita hidup dalam simetri yang salah. Ketika kita menghantam gigi orang lain atas nama keadilan, justru ada yang hancur dalam nilai hakiki dalam keadilan – yaitu kebahagiaan dalam kebersamaan. Bukan gigi, bukan mata, bukan nyawa.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home