Thursday, September 08, 2005

suatu waktu dengan Pakde Gi & Bude Gi...(Jetis-Jogja, 1995)

...
Jogja, tanggal 28 juli 1995 pukul 15.45, bis dari Banjar pun tiba, menempuh 300-an lebih km dalam kecepatan penuh,
bis berwarna krem itupun sampai di Umbul Harjo.
Aku turun di sana, dengan ransel hijau di punggung, dan satu kardus tempe mendoan oleh-oleh dari Cilacap, kota tempat
aku melakukan Geladi 1.

...
Di Jogja aku akan menuju rumah Pakde Gi dan Bude Gi, Pakde Gi ini bekerja sebagai kepala sekolah STM Negeri 1 Jogjakarta,
tinggal di daerah Jetis (aku menyebutnya Njetis). sedangkan istrinya Bude Gi bekerja juga sebagai guru di STM Negeri 4.
Di sebuah wartel aku telepon Pakde Gi, dan di ujung sana, suara Mbak Anna, kakak sepupuku yang menerima, aku bertanya
bagaimana caranya menuju ke Jetis dari terminal umbulharjo ini? Mbak Anna kemudian menyarankan aku naik sebuah angkot yang akan
berhenti di jalan ujung gang masuk komplek rumahnya. Setelah mencatat beberapa detail, jam 16.20 aku akhirnya mendapatkan
angkot yang menuju ke sana.

...
40 menit kemudian, aku akhirnya sampai di Jetis, jalur angkutan yang memutar-mutar sebagian kecil Jogja dan arus balik pegawai
kantor dan anak-anak sekolah membuat perjalanan tidak bisa cepat.
...
di mulut jalan menuju rumahnya aku ingat jalan menuju rumah Pakde Gi. Di mulut gang ada sebuah kios koran kecil, dan
di seberangnya ada losmen murah dengan desain bangunan art-deco.

...
sejurus kemudian aku sampai di rumah Pak de Gi, rumahnya relatif luas dibanding rumahku di Cempaka Putih Jakarta,
di halaman depan Senyum lebar Bude Gi (seorang wanita Purwokerto) menyambutku.

"Hey, Lik, ayo masuk, udah lama kamu ndak kesini!"
"Iya Bude, aku tadi lama di jalan, naik angkot yang berputar-putar"

Belum sempat bude Gi memlanjutkan percakapannya, suara Mbak Anna dan Mas Andi keluar dari dalam rumah.
"WWoooiiii orang Bandung, gimana kabarnya?" demikian teriak Mbak Anna, dia langsung menyalamiku.
"baik, Mbak, Mbak gimana ?"
"Aku sih apik-apik wae".
"Eh Lik, langsung dari Cilacap atau Banjar nih?", Mas Andi bertanya sambil menyalamiku.
"Dari Banjar Mas, dari Cilacap naik bis dulu ke Banjar untuk menyerahkan laporan ke salah satu pembimbing, lalu
siangnya langsung naik bis Jogja sini".

"Ya sudah, ayo masuk dulu Lik, masuk ke kamar-nya Anto sana gih, mandi-mandi dulu!", Bude Gi menyuruhku masuk ke rumahnya.
Aku hanya senyum saja dan berjalan mengikuti arah Mas Andi yang membantuku membawa ransel yang lumayan berat
(kurang lebih 28 Kg beratnya).
"Berat banget ranselnya nih Lik?, ngeborong apa aja sih?", sambil cengengesan dia membantu mengangkat ransel itu.

...

Pukul 18.10,
usai mandi, aku diajak shalat maghrib berjamaah oleh Mas Andi.
"Ayo Lik, kita ke musholla belakang, shalat maghrib bareng sama anak-anak sini!".
"Oke lah", jawabku.
"Eh, Ndi, Lik, nanti abis shalat, kamu jemput bapakmu ke Bandara ya ditemani Lilik ya, pesawatnya telat dari Jakarta, mestinya
jam 6 tadi udah sampai, tapi diundur sampai jam setengah delapan ini"
"Iya, Ma", jawab Mas Andi.
Aku hanya mengangguk dan mengiyakan.

...
Pukul 18.42, 28 Juli 1995
Di mobil Toyota DX itu, aku berbicara dengan Mas Andi tentang rencana kuliahnya. Mau masuk UGM atau ITB atau ke mana.
"Gimana Mas, jadi masuk UGM? mau ambil apa?"
"Ndak tahu lah, Lik, paling ngikutin Mbak Anna ambil Ekonomi, sekarang aku lagi cari-cari bimbingan belajar yang bagus."
"Coba SSC Mas, aku di Jakarta dulu ikut SSC kok."
"Iya, nanti aku akan bilang Bapak", ujarnya dengan senyum mengembang.

Pukul 19.10
aku sampai di Bandara Adi Sucipto, menunggu beberapa saat.
Lalu terdengar suara di Mikropon ruang tunggu menerangkan bahwa pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta dengan nomor
penerbangan sekian-sekian telah mendarat di Bandara Adi Sucipto.
"Nah itu pesawat Pakde udah datang, Mas", aku berkata ke Mas Andi.
"Iya nih, akhir-akhir ini Garuda sering telat nih, 3 minggu lalu pernah jemput Mbak Anna jam 1 Malam yang naik Garuda dari Surabaya".

Sejurus kemudian,
Sosok Pakde Gi terlihat di ujung pintu kedatangan, dari jauh dia melambaikan tangannya. Mas Andi dan Aku juga balas melambai.
Pakde Gi tampak gemuk, dengan setelan kemeja putih dan celana abu-abu gelap. Jas-nya tampak dicangklongkan di lengan kirinya.

"Halo Lik, wah kamu udah besar ya?, kapan sampai Jogja"
"Tadi sore Pakde", ujarku sambil mencium punggung tangannya.
"sendiri aja nih ke Jogja?"
"Iya Pakde, abis dari Geladi 1, kerja praktek di Cilacap, Banjar, Banyumas & Purwokerto".
"Lho kamu jadi ndak liburan dong".
"Ndak Pakde, di kampus kita, kalau liburan ya gini, kerja praktek di kantor-kantor Telkom di daerah-daerah".
"Wah hebat itu, jadi dekat dengan dunia kerja dong ya"
"Ya gitulah Pak De".

Pukul 19.50,
Aku, Mas Andi, Pakde Gi akhirnya sudah di mobil TOYOTA DX itu dan meluncur kembali ke arah Jetis. Di mobil, Pakde Gi bercakap-
cakap dengan Mas Andi. Menanyakan apa ada tamu yang datang ke rumah, apa pesanan buku untuk perpustakaan STM 1 sudah sampai.

Pukul 20.15
Aku, Pak De Gi, Bude Gi, Mbak Anna, Mas Andi dan Mas Anto berkumpul di meja makan di ruang makan rumah di Jetis itu.
Di makan malam itu, Bude Gi dan Pakde Gi banyak bercerita tentang rencana mereka membangun rumah kos-kos-an di daerah
Depok, Sleman, sekitar 15 km arah utara kota Jogja. Usaha di masa tua, hidup di Jogja akan semakin mahal kan di masa datang,
demikian PakDe Gi beralasan. Aku hanya banyak manggut-manggut saja di acara makan malam itu.

PakDe Gi nama lengkapnya Sugianto, adalah sosok guru penuh pengabdian, lulusan Fakultas Teknik UGM, di kala rekan-rekan
seangkatannya bergerak ke Jakarta, ia memilih bertahan di Jogja, menularkan ilmu Tekniknya ke anak-anak didiknya di Jogja.
"Aku ini apalah, kemanapun aku pergi, Jogja selalu memanggilku dan Salatiga selalu ingin kujelajahi", demikian ia pernah berujar
di rumahku, di terik Jakarta di tahun 1993. PakDe dan Bude Gi bertemu dikampusnya, saling berkenalan, bertukar harap dan
kekurangan, berbagi cerita dan kejadian. Selepas dari UGM, PakDe Gi pernah ke Malaysia, mengajar di beberapa sekolah kejuruan
di sana. Dunia Guru, dunia berbagi ilmu, dunia pengabdian untuk rakyat selalu ia yakini untuk teguh dijalankan.
"Rejeki, Jodoh dan Mati itu di tangan Allah SWT, aku dan budemu ini hanya menjalani saja, sebaik-baiknya yang kami bisa", di
akhir makan malam itu ia berujar pelan.

Di Jogja,
selama 5 hari aku tinggal, menyaksikan proses pembangunan rumah kosnya Pak De Gi. Pak De Gi menunjukkan kamar-kamar yang hendak dikos-nya, yang kelak hingga tahun 2005 ini masih berdiri dan menghidupi Mas Andi & Mas Anto.
Selama di Jogja Aku ke parangtritis, jalan-jalan ke Malioboro dan beberapa tempat lainnya.

2 Agustus 1995, pukul 20.40
Ada perasaan lain ketika hendak meninggalkan kota ini, ada perasaan yang sangat lain ketika Kereta Senja Utama membawaku kembali ke Bandung.

...

Wednesday, September 07, 2005

rasanya bir pletok...

...
aku belum cerita mengenai birpletok... aku namakan demikian karena di sudut tempat pemberhentian bis di kota Banjar kota kecil di sudut Jawa Tengah, aku mencari coca-cola dulu, namun malah oleh si empunya warung dia memberikan ini bir pletok ini..

...
sepotong percakapan yang kuingat :
"Mbak, ada coca cola...emh, atau sprit dingin?"
"...emhh..coca cola-nya habis, spritnya juga ndak ada, mau bir pletok aja Mas?"

Si empunya warung usianya kurang lebih awal 30-an...berambut hitam berombak, dengan tempelan koyo di kedua keningnya... anaknya yang berumur kira-kira 1 tahun tampak menggelendot di ayunan di dadanya...berpipi agak tembam dengan kulit kuning kecoklatan...

"boleh deh, coba aku rasa"

disodorkannya botol kecil, tulisannya bir pletok dengan botol warna hijau, aku lupa mereknya apa...permukaan dingin menyelimuti botol hijau kecil itu...
di tengah terik panas kota Banjar siang itu, di tahun 1995, usai Geladi I, aku minum dalam hitungan detik...

rasanya aneh, seperti beras kencur, namun ada perpaduan rasa pahit dan asam...
dalam 2 kali tenggukan, bir itu langsung menggelontor masuk ke kerongkonganku, botol berikutnya
aku tenggak lagi namun tidak habis... karena bis ukuran 3/4 menuju Jogja sudah terlihat di kejauhan...aku bayar sebanyak 2500 perak untuk dua botol bir pletok itu... Oooo satunya seribu dua ratus lima puluh perak..

di bis, aku duduk paling belakang, berdempetan dengan pedagang kulit sapi yang membawa dagangannya..aneh, minum bir tapi ndak terasa mabuk... dahaga sih hilang...

bis melaju ke Jogja...

and the story of my life begins...

...
aku pilih nama birpletok, karena bir ini pernah begitu nikmat aku rasakan di suatu hari
yang terik, di perjalanan dari sebuah kota kecil menuju Jogjakarta...

menulis lagi, setelah sekian lama vakum, beku...berbicara lagi dengan diriku dan diketahui
oleh orang lain...

and the story of my life begins !