Monday, October 10, 2005

kunti, karna

Pengantar :
Sahabat, essai ini muncul setelah penulis mencatat beberapa bagian dalam sebuah babak dunia wayang. Dunia yang di Indonesia ini hanya milik orang Jawa. Namun penulis tak sepenuhnya setuju, kisah Karna dan Ibundanya Kunti bisa terjadi di mana saja, kapan saja.di dalam dunia kehidupan ini. Dan moralitas cerita yang ditunjukkan oleh dunia pewayangan pun berlaku universal, dengan setting yang lain. Lakon Karna Gugur pernah penulis saksikan di sebuah acara wayang kulit di Bandung, tahun 1996 dulu, ketika kehidupan masih murah. Dua babak adegan ini merupakan dua adegan terbaik yang muncul di salah satu episode Mahabharata ini.
Sahabat, semoga berkenan.


kunti

Beberapa hari menjelang perang pecah, Ibu itu, Kunti meminta agar Karna datang menemuinya.
Dan ksatria itu datang. Mereka bertemu di sebuah kuil kecil di tepi gurun, setengah hari berkereta di luar
kota Astina. Hari turun menjadi gelap. Karna turun dari kudanya dan menyuruh pengawalnya menjauh. Di ruang dalam pura, yang diterangi tiga suluh di dinding, ia lihat perempuan itu berdiri, menunggu. Tak ada orang lain yang tampak. Hanya seorang dayang bersila di sudut.

Untuk apa pertemuan ini? Apa kiranya yang dikehendaki Kunti? Wanita itu masih ramping dan tegak. Janda Baginda Pandu. Ratu sepuh. Mungkin usianya telah lewat 60 tahun. Parasnya yang kuning langsat, matanya penuh sorot. Penderitaan seakan-akan telah mengukuhkannya. Berapa tahunkah ia hidup dalam hutan, mengikuti kelima anaknya, para Pangeran Pandawa, selama dalam pengasingan? Sepuluh tahun lebih. Karna hanya ingat, lebih dari 10 tahun yang lau ia tergetar ketia ia berdiri di halaman Keputren dan menengok ke jalan, melihat ratu itu - mengenakan kain kasar dan iku rambut pertapa - dengan kepala tegak duduk di samping Arjuna dan keempat saudaranya, di gerobak sapi yang akan membawa mereka ke luar batas kota, ke hutan, ke pembuangan.

Kini kenapa perempuan itu ingin menemuinya - ia, Karna, seorang musuh, di pihak para Kurawa
yang harus disingkirkan dalam perang pembalasan?

Kita hanya tahu dari para dalang bahwa di keremangan senja itu ternyata mengungkapkan sebuah rahasia besar : Karna adalah anaknya. Empat puluh dua tahun yang lalu, kata wanita itu, ia melahirkan seorang bayi. Bayi yang harus dibuangnya ke sungai, karena lahir dari sebuah percintaan gelap...

Tak bisa dibayangkan, bagaimana sebenarnya pembicaraan berlangsung dalam kuil itu.
Bagaimana Karna menerima rahasia yang dibuka mendadak itu? Terkejut? Syak? Terharu?

Konon ia tak syak. Baginya Kunti memang ibunya. Kata orang, selama ini ia memang selalu ingin menemukan ibu yang melahirkannya. Ia anak dapat, anak pungut, orok yang dijumpai di sungai dan dipelihara oleh satu keluarga sais. Juga Karna cepat mempercayai cerita Kunti, tutur sebagian orang lain, karena ia diam-diam selalu ingin agar ia (kini seorang Adipati di Awangga) punya darah biru, bukan darah sudra...

Tapi benarkah Karna demikian? Tak bertanyakah karna kenapa baru saat itu Kunti membuka rahasia itu? Tak sakit hatikah ia terhadap Kunti yang tega membuangnya ke arus sungai -jika ia memang bayi itu? Tak mungkinkah pertemuan di kuli itu hanya siasat para Pandawa, agar ia - seorang prajurit yang ulung - tak berpihak lagi pada Kurawa.

Para dalang tak menjawab. Mereka hanya bercerita bahwa Karna menolak permintaan Kunti agar ia meninggalkan Kurawa. Ia akan tetap berperang menghadapi kelima Pangeran Pandawa. Konon inilah yang diucapkannya kepada Ratu Sepuh itu : " Kalau hamba tewas dalam perang nanti, ataupun bila Arjuna gugur oleh tangan hamba, Ibu tetap akan punya lima orang putra."

Dan Kunti menangis. Jika itulah yang diucapkan Karna, kstaria itu telah mengatakan sesuatu yang lebih jauh. Karna menyebut jumlah, ia menyebut anak yang bisa saling dipergantikan. Tapi seorang ibu akan tahu - kecuali seorang ibu yang tega membuang anaknya ke sungai - bahwa tak ada sejabang bayi pun yang bisa tergantikan.

Setiap orok mengisyaratkan sesuatu yang berbeda - dan beda itu tak terjangkau.

Setiap kelahiran, seperti setiap kematian, membenarkan kalimat yang mengatakan bahwa setiap kita akhinya datang dan pergi sendiri-sendiri di depan Tuhan. Manusia bukan hanya satu angka dalam himpunan.

Ia punya nasib, dan "nasib adalah kesunyian masing-masing", seperti kata satu sajak Chairil Anwar.

Ketika kesunyian masing-masing tak diakui, pembunuhan dimulai. Politik dan hukum bukan sebuah dunia etis - juga filsafat dan agama kehilangan tindakan etis - ketika kesunyian yang berbeda-beda itu diabaikan. Tatkala politik, hukum, filsafat, ilmu dan agama menghabisi yang lain yang berbeda, dunia pun dikuasai oleh yang sama.

Klimaks Mahabharata terjadi dalam perang yang bengis. Manusia diperlakukan hanya punya dua gugus nasib membunuh atau dibunuh, tewas atau menang. Sering Mahabharata hanya diperlakukan sebagai sebuah dongeng kepahlawanan. Tapi kisah kepahlawanan membuat kemenangan dan tewas bukan hal yang berlainan. Sekaligus diabaikanlah beragam korban dalam sejarah. Mereka tak dicatat, tak dapat tempat.

Dan apa akhirnya? Keadilan, setelah kesewenang-wenangan terbalas ? sebuah tahap baru, yang terangkat dari benturan tesis dan antitesis? Jika Mahabharata hanya ditafsirkan demikian, lika-liku jalan hidup manusia akan terpola dan selalu bisa diulang. Nasib pun bukan "kesunyian masing-masing". Semua hal pun bisa diketahui, lempeng seperti garis.

Tapi tak semua hal bisa diketahui, tak semua hal bisa dikuasai. Di senja itu, Kunti juga mencoba menarik satu garis lurus sebab-akibat : barang siapa yang jadi anaknya akan berperang di pihaknya. Tapi ia akhirnya harus mengakui bahwa ia, yang membuang anaknya 42 tahun lalu, tak akan mendapatkannya kembali. Karna telah dibuang, telah sepenuhnya menjadi orang lain. Dalam hal itu Karna melambangkan nasib dan kesunyian tiap manusia :

Sesungguhnya ia bukan Pandawa, ia bukan Kurawa, Ia terus menerus sebuah beda.


***

karna

Padang Kurusetra tempat epos Mahabaratha mengambil tempat - beberapa jam sebelum pagi, sebelum gelombang pertempuran meledak lagi - Karna, Adipati Awangga, menulis sepucuk surat pada istrinya dari dalam kemahnya, suratnya yang terakhir untuk Surtikanti, istrinya.

"Diajeng Surtikanti yang selalu tercinta dan akan selalu tercinta, Peramal menujum aku akan tewas dalam perang ini. Tapi jangan dengarkan mereka, Surtikanti. Dengarkanlah aku. Nasib mungkin memihak musuh. Tapi aku akan menghadapi mereka - juga bila harus melalui mati."

"Mati, saat ini, rasanya bukan lagi soalku, Istriku. Mungkin karena alasan perangku lebih besar ketimbang hidup. Atau setidaknya alasan itu adalah alasan kehidupan sendiri : aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku. Di pagi nanti, Karna tewas atau Karna menang, Keduanya akan menentukan siapa dia. Sebab, siapa sebenarnya aku, Surtikanti, selama ini, selain orang yang tak jelas kastanya, tak jelas asal-usul, tak jelas kaumnya?"

"Jangan kau sedih. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia kita yang telah dinubuat ini, Istriku, seseorang hanya mendapakan dirinya tak jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan. Sebab itu, Istriku, aku harus membuktikan bahwa seseorang ada, seseorang menjadi, karena tindakannya, karena pilihannya - bukan karena ia telah selesai dirumuskan.

"Seorang resi pernah berkata : pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda menjadi Kodrat. Bagiku, pada mulanya adalah perbuatan. Dari perbuatan lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku. Bagiku, Surtikanti, Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada ; dewa-dewa tak pernah menyabdakannya. Telah kuduga itu ketika namaku masih si Radheya, dulu.”

"Kini, bisa kuceritakan kepadamu apa yang terjadi pada Si Radheya, ketika ia berumur 16 tahun : hari ia tahu bahwa ibunya bukanlah ibunya yang sebenarnya, dan bapaknya - seorang sais - bukanlah bapaknya yang sebenarnya. Ia anak pungut, Surtikanti. Diduga, seorang putri bangsawan tinggi melahirkan bayi yang tak dikehendaki dan membuangnya di air. Dan itulah aku. Aku menangis ketika semua itu dikemukakan padaku oleh wanita yang selama ini kusebut ibuku. Ternyata, aku bukan lagi bagian seasal dari dirinya, betapapun ikhlasnya kasih sayang. Dan mulai saat itu, aku kembali terbuang : seorang bocah yang hanyut, di sepanjang tepian.

"Lalu kucari ilmu, Istriku, kau tahu mengapa? Ilmu akan mengukuhkan aku bukan cuma anak suta yang hina. Meskipun kukatakan pada Radha, Ibuku, bahwa ilmu tak mengenal kasta, ilmu tak mengenal hina, tak memandang harta - dan karena itu di sanalah aku akan bebas - sesungguhnya aku berjusta, juga pada diriku sendiri : diam-diam aku ingin ingkar kepada kelas orang-orang yang mengasihi aku. Sebab, ternyata di dunia kita yang menyesakkan ini, Surtikanti, ilmu pun telah menjadi lambang tentang mana yang rendah, mana yang tinggi.

"Aku datang berguru pada Durna, tapi Durna menolakkku, karena aku bukan ningrat, bukan ksatria. Aku datang kepada Bhargawa, mengaku anak brahmana, dan jadi muridnnya - tapi kemudian ia mengutukku ketika ia menuduhku anak ksatria, kelas yang dibencinya itu, berbohong.

"Memang, setelah kukuasai semua astra dan semua senjata, aku tahu ilmu bisa melepaskan kita dari perbedaan susunan rendah dan tinggi. Tapi akhinya hanya tindakan besar yang membebaskanu - tindakan Pangeran Duryudana. Dialah yang mengangkatku jadi penguasa di Angga, Istriku, dan dari sanalah aku seakan lahir kembali, kini benar aku bukan anak kasta yang dihinakan. Dan Aku meminangmu."

"Ya, aku tahu mengapa Duryudanan mengangkatku, ketika pada Pandawa menghinaku, di pertandingan memanah di area Hastina belasan tahun yang lalu itu ; mereka menolakku , karena bagi mereka, anak sais tak berhak bertanding dengan anak raja. Duryudana ingin memperlihatkan, di depan rakyat yang menonton, betapa tak adilnya pada Pandawa.

Dari Putra Mahkota Kurawa itu mungkin juga memperhitungkan aku bisa digunakannya untuk menghadapi musuhnya yang 5 itu.

"Tapi apa pun niat hatinya, tindakannya adil dan kata-katanya benar : Keberanian bisa datang dari siapa saja, karena seorang ksatria ada bukan hanya karena ayah-bundanya - api toh bisa keluar dari batu gunung yang tak dikenal".

"Rasanya, akulah salah satu batu gunung itu, Surtikanti, yang menerbitkan perciknya sendiri. Inilah kemerdekaanku : Arjuna memilih pihaknya karena darah yang mengalir di tubunhnya, aku memilih pihakku karena kehendakku sendiri, Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku berperang bukan untuk memperoleh.

Maka jika aku esok mati, Istriku, kenanglah kebahagian itu. Satu-satunya kesedihanku ialah aku tak akan lagi bisa memandangmu, ketika kau memandangku."

Di situ Karna berhenti : tangannya tergetar. Tapi segera ia mengucap busur panah di sisi duduknya, ketika ia keluar kemah tercium bau busuk mayat-mayat Kurusetra dan malam mengerang - seperti kesakitan.

..bandung, sept 2005...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home