Tuesday, October 25, 2005

[cerpen] Bangku Taman Di Tepi Pantai

"Kek, kenapa ayah pernah berkata 'Payah, anakku tidak seperti aku', Bagaimana sih, hidup ayah dulu, Kek ?".

Orang tua itu menginjak perlahan remnya, keningnya berkerut mendengar pertanyaan cucu perempuannya. Mobil Colt Pick-Up buatan tahun '75 itu pelan-pelan terhenti.

"Baiklah, kita berhenti di taman itu !", ujarnya sambil menunjuk ke sebuah taman kecil. Taman itu terletak di persis di tepi pantai. Hanya sekitar dua puluh meter dari jalan utama.

Mereka kemudian duduk di sebuah bangku di taman itu, mereka duduk menghadap pantai. Hembusan angin laut memainkan rambut mereka berdua. Orang tua itu mulai berpikir untuk menjawab pertanyaan yang barusan ditanyakan si anak.

Kadang ia bingung, mengapa warna hidupnya sudah berbeda jauh dengan anaknya. Apa yang dilakukan oleh anaknya sehingga anak sekecil ini sudah bisa menanyakan hal-hal yang semestinya ditanyakan oleh orang dewasa.

"Apakah dulu ayah pernah bertanya hal yang demikian kepada kakek ?", gadis kecil itu bertanya lagi, ia khawatir jangan-jangan kakeknya mulai gampang luka, mulai pikun.

Mendengar pertanyaan cucunya, orang tua itu mengusap rambutnya yang memutih.

"Tidak, tidak pernah", ia menjawab sambil tersenyum. Ia lalu menatap mata sang cucu. Sang cucu menatapnya tanpa berkedip. Mata keduanya saling bertatapan, mereka berdua saling memasuki pengalaman hidup masa lalu dan masa depan

Ia lalu menceritakan seluruh masa lalunya, seluruh kehidupannya. Ia teringat pada masa-masa sulit, saat ia berjuang sendirian dalam hari-hari penuh badai. Ia ingat masa-masa ketika ia berada di titik terendah dalam kehidupannya. Ia ceritakan betapa sulitnya menjadi petani kala itu. Ia juga ceritakan tentang istrinya yang mulai tidak kerasan dengan sulitnya hidup kala itu. Cerita-cerita yang pernah menorehkan luka panjang dan luka-luka lain di atasnya.

Harapan menjadi satu-satunya sebab yang membuat ia terus bertahan.

Dulu semasa kecilnya, ia juga mempunyai banyak pengetahuan dari kakeknya. Ia jadi mengenal lumpur-lumpur sawah, ia mengenal kerbau, ia mengenal bunga rumput, ia mengenal suara sungai, ia mengenal laut ini, ia mengenal bangku-bangku taman di tepi pantai. Itu semua dari kakeknya. Lalu ia pandangi kedua belah telapak tangannya, ia teringat tangan kakeknya yang keriput, sama seperti punyanya sekarang ini. Telapak tangannya pernah seperti punya cucunya saat ini.

"Apakah itu semua menganggumu ?", Sang kakek memindahkan cucunya ke dalam pangkuan.

Gadis kecil itu hanya menggeleng.

"Cuma...?".

Gadis kecil itu tak menjawab, ia hanya memainkan jemarinya di dada kurus itu. Ia teringat dengan pertengkaran-pertengkaran beberapa hari belakangan di rumah. Kata-kata kasar yang baru ia dengar waktu itu berebutan keluar dari mulut kedua orang tuanya. Ia tidak tahu mengapa. Kadang ia lihat ayahnya menatapnya dengan penuh cinta, tapi suatu saat ia lihat sinar itu berubah menjadi kebengisan kepada mamanya. Kadang ia temui mamanya dalam kondisi lusuh dan memilukan, wajahnya sering sembab. Kadang ia merasa malas pergi ke sekolah, ia ingin menemani mamanya.

Laut mendesah. Burung-burung laut beterbangan, mengepakkan sayap. Laut mendesah selalu seperti itu, burung-burung mengepakkan sayap selalu seperti itu, tapi manusia selalu berubah.

"Aku selalu ingin bisa terbang, kek, punya sayap. Bisa main ke rumah kakek, ke pantai terus", tangannya yang kecil memeragakan bagaimana burung terbang. Ia tampak gembira.

Kakeknya hanya tersenyum.

"Lalu setelah terbang, kamu mau apa ?"

"Pergi, Kek. Jalan-jalan seperti burung-burung itu. Tak usah memikirkan sekolah, hanya terbang saja sepanjang hari".

"Lalu bagaimana dengan sekolahmu nanti ?".

Gadis kecil itu tertegun sesaat.

"Apakah dahulu kakek juga pernah sekolah seperti aku ?".

Ia masih berdiri-diri seperti burung terbang, di samping kakeknya.

"Aku tidak pernah sekolah, nak. Aku dulu belajar mengaji. Apakah Mama di rumah mengajarkan kamu mengaji, nak ?"

"Mengaji ?".

"Ya, mengaji. Kamu tahu, kan ? Sebetulnya itu sekolah juga. Ayat-ayat kitab suci mengajarkan bagaimana hidup yang benar."

"Kenapa Papa dan Mama tidak pernah mengajarkan aku mengaji sekarang ?"

"Kamu tanyakan saja sendiri pada Papa dan Mamamu. Mungkin karena waktumu habis untuk sekolah. Kamu selalu pergi sampai sore, nak."

Gadis kecil itu terduduk lagi di pangkuan kakeknya.

"Kalau memang kita suci mengajarkan bagaimana hidup yang benar, seharusnya papa dan mama menyuruh aku belajar mengaji. Apakah Kakek pernah menyuruh papa belajar mengaji dulu ?"

"Ya, tapi banyak orang yang berpikir bahwa mengaji itu adalah hal yang aneh di jaman sekarang ini. Kalau kamu tidak bisa membaca hurufnya pun, kamu bisa mengerti tentang ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Mungkin bapakmu juga berpikir begitu, Ia berpikir kamu lebih baik belajar bahasa Inggris."

"Apakah hidup akan menjadi tidak benar kalau kita tidak pernah belajar mengaji."

Gadis itu bertanya lirih, ia kembali teringat tangisan-tangisanny di balik bantal. Sering ia tidak bisa menahan air matanya ketika mendengar kalimat-kalimat keras dan kasar keluar dari kedua orang tuanya. Ia hingga kini tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan mereka, papa atau mamanya hanya menjawab tidak ada apa-apa, lalu menyuruhnya kembali ke tempat tidur. Kenapa orang bisa sedemikian cepat berubah ? Apakah mereka berbohong ? Ia sama sekali tidak mengerti.

Mendengar pertanyaan cucunya, orang tua itu terperangah. Keningnya berkerut. Ia menatap mata cucunya. Itulah pertanyaan yang pernah ia ajukan pada kakeknya dulu. Tapi ia tidak ingin menjawab pertanyaan yang pernah ia ajukan pada kakeknya. Ia sendiri sudah lama menjawab-menjawab pertanyaan. Sekarang ia merasa harus berusaha keras menjawab pertanyaan cucunya itu, karena ia pikir cucunya akan teringat sampai mati. Seringkali ia merasa sudah menemukan jawaban, tapi ia takut itu merupakan jawaban yang tidak sesuai untuk cucunya. Selama ini aia memang sudah menemukan keyakinan, namun ia juga ingin cucunya menemukan keyakinannya sendiri.

"Tanyakan saja kepada papa dan mamamu, Nak, tentunya ia punya jawaban yang bagus."

"Aku takut mereka tidak punya kesempatan untuk menjawabnya."

"Kalau begitu dengan gurumu di sekolah, mungkin jawaban yang ia punyai akan sangat bagus."

"Guruku tidak pernah menjawab, Kek. Ia hanya mengajarkan aku bagaimana menemukan jawaban."

"Wah, kalau begitu sekolahmu itu pasti sekolah yang bagus. Kamu beruntung sekali, Nak, kamu sangat beruntung....."

Gadis kecil itu masih memandang kakeknya. Mereka saling bertatapan dan saling merasuki lorong kehidupan yang panjang ke masa lalu dan ke masa depan. Gadis kecil itu teringat pada belaian bundanya, kecup manis ayahnya ketika ia akan masuk ke kelas. Gadis itu teringat, ketika mereka sering pergi ke taman seperti sekarang ini dengan kakeknya. Ia juga teringat betapa papa mamanya begitu mencintainya, sehingga semua yang ia inginkan selalu tersedia untuknya. Ingatan-ingatan itu bercampur baur dengan ingatan lain, saat ia lihat betapa ramainya rumah ketika suatu saat papa dan mamanya telibat pada sebuah adu pembicaraan. Begitu ia menamakannya, yang akhirnya kadang membuat ia menangis, membuat ia merasa tak berdaya.

Orang tua itu menatap cucunya juga tanpa berkedip, ia melihat masa kecilnya dulu ketika ia sering pergi dengan kakeknya ke sawah, ke kebun, ke pantai seperti sekarang ini. Semuanya tetap, hanya manusia, dirinya yang berubah. Sawah, kebun dan pantai ini masih tetap seperti dulu.

Ia kadang tidak mengerti mengapa orang muda sekarang mudah untuk tidak mau mengalah ? Apakah sudah tidak ada cinta lagi diantara mereka, di antara anak-anak?. Menyebut kata yang satu ini, ia hanya tersenyum geli dalam hati, betapa sudah lama sekali ia tidak menyebutkan kata ini ke telinga istrinya. Kehidupan sungguh aneh, ia teringat pada masa-masa anaknya bersekolah, ia ingin sekali anak-anaknya bersekolah setinggi-tingginya. Menjadi orang, demikian ia selalu ingat kata guru ngajinya puluhan tahun lampau. Ia juga teringat ketika ia diberitahukan bahwa anak lelakinya ingin menikah, ia agak merasa aneh melihat betapa repotnya mereka-anak lakinya dan gadis pilihannya- mengurus pakaian apa yang harus dipakai olehnya di hari pernikahan mereka. Pernikahan yang ia sendiri merasa tidak pantas untuk hadir di situ. Ia dulu sempat bertanya kenapa harus di kota ? Kenapa harus di gedung mewah ? Kenapa tidak di rumahnya saja di desa, dimana orang-orang sekampung bisa melihat bahwa anaknya sudah jadi orang ?. Sunggu ia merasa asing bila harus di kota, bertemu dengan orang-orang yang tidak ia kenal, orang-orang yang lebih banyak berbasa-basi. Ia sungguh merasa rikuh ketika ia membaca undangan pernikahan yang berisi bahwa setiap undangan dimohon tidak membawa karangan bunga atau bingkisan lain, tapi hanya berupa uang. Uang ? Lalu bagaimana bila ada undangan yang tidak punya uang saat itu ?

Pertanyaan-pertanyaan, kadang ia merasa bahwa hidup hanya berputar-putar pada pertanyaan saja.

Keterasingannya memuncak manakala ia diharuskan bersalaman dengan pembesar-pembesar negeri ini, pembesar-pembesar yang ia hanya bisa lihat di TV. Ia teringat cerita-cerita, bahwa pembesar-pembesar itu adalah orang-orang terbaik, orang-orang pilihan, hingga tak sembarangan orang bisa bersalaman dengan mereka. Ia melihat anak lelakinya bangga dengan itu semua. Ia pun senang, ia lebih baik mengabaikan keterasingannya ia pun melihat anaknya sudah menjadi orang, seperti kata guru ngajinya dulu. Waktu itu ia berpikir bahwa ia lebih baik mengalah, toh, anaknya sudah dewasa, sudah menjadi orang.

Peristiwa itu, baru hitungan jari terlewat. Ia masih ingat dan kebahagiannya bertambah ketika cucunya lahir. Hingga saat ini, ia masih teringat semua itu, ingatan yang kemudian harus berhadapan dengan apa yang barusan diceritakan cucunya.

Kenapa cinta begitu mudah hilang ? Kenapa mereka yang katanya sudah menjadi orang begitu mudah melukai hati seorang bocah dan berkata tidak ada apa-apa ? Apakah aku harus menegur keras mereka ?

Tak terasa air matanya mengalir, kerut keningnya bertambah keras. Orang tua itu merasa kesal ia tak bisa menemukan jawaban dan berbuat apa pun untuk mengobati luka cucunya.

"Kakek menangis ?"

"Oh, tidak," ia mengerjap-ngerjapkan mata, berupaya membuang air matanya,"Angin laut sering membuat pedas mata kakek."

"Hari telah sore, kek, sebaiknya kita pulang. Tapi sebelum itu, ijinkan aku membagikan remah-remah roti ini ke burung-burung itu. Aku kasihan pada mereka, sedari tadi mereka menemani kita disini."

"Ya, ya, pergilah sana. Kakek baik-baik saja di sini."

Gadis kecil itu lalu tersenyum, ia kecup kening kakeknya. Ia tertawa riang ketika ia lemparkan remah-remah roti itu ke burung-burung laut. Sesekali burung-burung mematuki ramah roti di telapak tangannya dan gadis kecil itu merasa geli dan karena itu ia tertawa terkekeh-kekeh.

Kakek itu memandang cucunya berlari-lari melintasi kerumunan burung-burung sehingga burung-burung itu beterbangan sebentar sebelum merendah kembali mematuki remah-remah roti di antara kerikil pantai.

Angin laut berhembus pelan, hari ini, betapa ia mendapat begitu banyak hal yang tak pernah ia duga. Kadang ia merasa sudah teramat tua untuk bisa berpikir seperti dulu. Matahari sudah mulai senja, ia teringat umurnya, saat ini ia merasa seperti matahari itu, hanya bedanya matahari selalu memiliki hidup baru sedang ia tidak. Orang tua itu menatap laut, hatinya yang kesal barusan perlahan hanyut, mengikuti irama gelombang yang selalu datang dan kembali, selalu naik dan turun, kadang tenang kadang beriak. Melihat laut, hatinya merasa luas kembali. Ia pun tersenyum. Kenapa aku tidak bisa seperti laut ? batinnya. Lamunannya melayang seperti kapas melayang di atas gelombang air laut.

"Kek, rotinya sudah habis," gadis itu berteriak sambil berlari menghampiri kakeknya.

"Kita pulang, yuk. Kek. Sudah lapar, nih !"

Orang tua itu tersenyum sambil mengangguk.

Burung-burung melayang pergi, mereka berdua memandang burung-burung itu beterbangan di langit. Makin lama makin menjauh dan menghilang seperti masa berlalu. Tak terdengar lagi kepak sayap burung. Tinggal suara gelombang laut mendesah, angin yang menggelitik dan bergetarnya udara pantai ditembus matahari emas senja hari.

Bandung sore, basah....

Ramadhan '98

0 Comments:

Post a Comment

<< Home